Tanah Air Fieldnotes: Catatan Pinggir Dari Pesisir Jakarta

Kamal Muara – Pantai Indah Kapuk

What it means to be a man. In a city. In a century. In transition. In a mass. Transformed by science. Under organized power. Subject to tremendous controls. In a condition caused by mechanization.” – Saul Bellow

Tulisan ini hadir dari eksplorasi Post-Utopia di area pesisir Jakarta dalam rangka mengumpulkan fakta lapangan terkait isu Tanah-Air. Tanah Air adalah tema sekaligus judul dari proyek seni multimedia terbaru Post-Utopia, dalam proses pengerjaannya selain melalui proses diskursif yang ditayangkan melalui siniar kami di Spotify dan Youtube, kami juga melakukan observasi lapangan yang rencananya akan dilakukan di beberapa tempat selain di Pekalongan. Pilihan untuk menelusuri pesisir Jakarta kali ini tentu saja sebagian besarnya datang dari alasan taktis karena itu adalah lokasi paling dekat dari tempat dimana kami biasa beroperasi. Kami memulai penelusuran dari Kamal Muara, mengunjungi kampung-kampung di area pesisir, tambak-tambak pemancingan di dalam hutan bakau lalu diakhiri di Pantai Indah Kapuk 1 atau biasa orang sebut dengan PIK 1 yang pembangunannya datang dari mimpi-mimpi modernitas ala developer.

Penelusuran kami lakukan dengan jalan kaki. Dimulai dengan menelusuri Kali Kamal. Bagi orang yang ada di sekitar Kali Kamal pandangan terhadap Kali Kamal yang penuh polusi mungkin adalah pemandangan harian yang tidak lagi mengundang heran dan tanya. Sedangkan bagi kami, harus berusaha keras mencoba membayangkan bahwa buih-buih putih tebal hasil limbah itu adalah glasier sedangkan air yang mengalir dari mesin pompa adalah sebuah curug yang mengalir natural untuk bisa menikmati penelusuran kami di Kali Kamal. Selanjutnya, kami mengunjungi kawasan hutan bakau yang di dalamnya dipenuhi oleh tambak-tambak pemancingan yang dikelola oleh warga, di tempat itu kami mengalami batas antara tanah dan air yang memudar. Kami bisa melihat bagaimana ikan-ikan kecil ada di kubangan-kubangan cetek di pijakan kaki kami. Kami juga melihat bagaimana bangunan warung-warung kopi yang sebagiannya juga dijadikan tempat tinggal tampil dengan gaya panggung bermaterialkan kayu dan bambu. Material nirkematian yang dirancang untuk bisa adaptif menghadapi banjir rob. Di tempat ini banjir rob diperlakukan laiknya tetangga yang bisa berkunjung kapan saja. Adaptasi vernakular seperti itu bukanlah primitif tapi ia algoritma kuno, fleksibel, terdesentralisasi dan merendah pada alam. Hutan bakau dan tempat pemancingan ini menjadi tempat wisata yang murah meriah bagi penduduk kampung di sekitar Kamal Muara. Berbekal pagar dan pijakan bambu yang menjulur seperti urat nadi yang hidup diikat dengan tali tambang dan juga doa dari banyak warga yang turut mencari rezeki dan penghiburan sementara.

Pengalaman berbeda dan kontras dialami ketika kami melanjutkan penulusuran ke PIK 1. Kami menelusuri kawasan tepi laut PIK 1 yang disebut Cove yang dipadati oleh kafe-kafe, restoran dan sarana hiburan lain. Pantai Indah Kapuk ini memang didesain sebagai kawasan hunian terpadu, sebuah proyek dari salah satu developer besar di Indonesia. Sejak awal, kawasan ini memang dimaksudkan untuk menjadi konsumsi bagi kelas menengah atas, baik untuk hunian maupun area hiburannya. Dalam bahasa promosi, Pantai Indah Kapuk menyebut diri sebagai waterfront city yang didesain berkelas dunia. Semua itu dicerminkan dalam pilihan gaya arsitektural, tata kota bahkan penamaan jalan, menghadirkan realitas cangkokkan dari bayangan mereka akan kemajuan Eropa dan Amerika.

Di PIK, di atas lahan hasil reklamasi, kita disajikan simulasi bagaimana mengatasi laut, dengan beton yang berdiri kaku dan seolah ingin berkata ‘kami bisa mengurung laut!’ Tapi siapa yang bisa menjamin kalau beton tidak retak dan bocor?

Dari pinggiran PIK 1 kita dapat memandangi area pinggir kampung Kamal Muara yang ditata organis, begitupun sebaliknya dari pinggiran kampung Kamal Muara kita bisa melihat spektakulernya proyek PIK. Keduanya dekat namun bersekat. Dalam penelusuran ini kami membayangkan dua model masa depan yang mungkin saja suatu hari bisa berbaur. Satu pesisir dua estetika.