Lanskap Horor: Sisworo Gautama Putra

Di Indonesia genre supernatural horor selalu menjadi salah satu genre yang paling diminati orang banyak. Di era internet kita bisa melihat keberhasilan genre horor di hampir seluruh media populer, pada konten Youtube, siniar maupun pada cerita sambung yang lalu-lalang di Twitter, Film horor juga seringkali menggemparkan bioskop-bioskop di Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana antusiasme luar biasa publik pada film KKN di Desa Penari (Awi Suryadi, 2022) baru-baru ini, atau Pengabdi Setan (Joko Anwar, 2017) atau kalau mau kita tarik lebih jauh lagi kita bisa lihat keberhasilan Jailangkung (Jose Purnomo, Rizal Mantovani, 2001) dan masih banyak segudang contoh lainnya.

Pada era pra-internet kita semua mengenal sosok Suzzanna yang melalui film-filmnya di dekade 80-an membentuk lanskap horor di Indonesia dan turut mempengaruhi imajinasi banyak orang akan sosok hantu perempuan. Suzzanna menjadi ikon horor paling besar pada masanya dan dijuluki sebagai “Ratu film horor Indonesia”. Saking kuatnya persona Suzzanna sebagai hantu perempuan, kehidupannya di luar film juga sering dikait-kaitkan dengan hal mitis bahkan sampai pada momen-momen kematiannya di tahun 2008.

Sisworo Gautama Putra (1938 – 1993) merupakan salah satu sosok yang membidani film-film horor yang dibintangi oleh Suzzanna. Karya-karya seminalnya termasuk Pengabdi Setan (1980), Malam Jumat Kliwon (1986), Malam Satu Suro (1988). Film-film tersebut serasa tidak habis menghantui kita karena selalu diputar ulang tidak hanya melalui layar televisi, pemutaran layar tancep hingga ke pelosok-pelosok desa dan masih bisa kita temui hari ini di layanan streaming seperti Netflix. Pada banyak filmnya, alur, plot, karakterisasi dan visual yang dibangun oleh Sisworo memang seringkali terasa formulaik. Namun elemen-elemen horor yang dibangun memang akhirnya terbukti dapat meyakinkan pasar untuk menonton. Hal ini juga dapat diartikan bahwa nilai yang diangkat dalam film-film tersebut tidak banyak bertentangan dengan nilai yang diterima oleh masyarakat pada masa itu.

*

“Semoga Rio menjadi anak yang berguna bagi bangsa, negara dan agama, ya manis.” Suketi, Malam Satu Suro (1988)

Keluarga Sebagai Pusat Tragedi. Pada sebagian besar filmnya Sisworo, benih-benih konflik mengorbit di seputar keluarga. Sebagai catatan, pada rejim Orde Baru keluarga dijadikan satu instrumen politik yang penting. Dalam memposisikan rejim kontra orde lama dan paska penumpasan PKI; Orde Baru mengeluarkan aturan mengenai Kartu Keluarga hal ini dimaksudkan agar kepala keluarga yang terdata dalam Kartu Keluarga dapat mengawasi anggota keluarganya. Orde Baru juga mengkampanyekan Keluarga Berencana dalam upaya untuk menjaga laju populasi dengan membatasi jumlah anak, sesuatu yang selalu ditolak oleh Orde Lama. Nilai-nilai tentang keluarga yang digaungkan dengan masif oleh Orde Baru ini mungkin juga yang turut diserap oleh Sisworo kedalam film-filmnya.

Pengabdi Setan (1980) misalnya menceritakan mengenai teror yang dialami satu keluarga setelah sang ibu yang bernama Mawarti wafat. Ibu Mawarti meninggalkan suaminya yang bernama Munarto dan dua orang anak Tomi dan Rita. Gangguan pun memuncak dengan munculnya sosok Bi Darminah yang menjadi asisten rumah tangga dan ternyata adalah seorang pemuja setan. Teror gangguan supernatural itu tumbuh subur seiring relasi keluarga yang rapuh dan retak. Munarto lebih sibuk dengan urusan bisnisnya, Tomi menjadi seorang pemurung sepeninggal ibunya, sedangkan Rita lebih banyak melarikan diri kepada kehidupan malam dengan kekasihnya Herman.

Malam Jumat Kliwon (1986) bercerita mengenai seorang penulis yaitu Ayu Trisnaningrat yang mengalami kebuntuan dan tekanan psikologis dalam latar kehidupan urban. Untuk berusaha pulih ia memilih untuk mengasingkan diri di sebuah rumah besar di pinggiran kota dengan pendampingan dari psikiaternya. Tanpa disadari rumah itu menjadi medium penghubung dengan masa lalu keluarganya. Rumah tersebut ternyata adalah rumah dari keluarga Raden Ngabey Arya Tejo dan istri pertamanya yaitu Roro Ayu Minati mereka merupakan orang tua dari Ayu Trisnaningrat. Raden Ayu Minati wafat setelah melahirkan Ayu Trisnaningrat. Kematian Raden Ayu Minati diakibatkan oleh dukun teluh yang dibayar oleh Roro Ayu Punirah yang merupakan selir dari Raden Ngabey. Teluh itu menyebabkan Minati melahirkan Ayu melalui punggungnya sehingga ia pun langsung tewas setelah kejadian itu. Sosok Minati akhirnya menjadi sosok sundel bolong dan bergentayangan di sekitar lingkungan rumah namun menjadi pelindung Ayu dari orang-orang sekitar yang terlibat dengan rahasia kelam di masa lalu dan berniat mencelakakan Ayu.

Malam Satu Suro (1988) berkisah mengenai Bardo yang menikahi seorang perempuan bernama Suketi dari Alas Roban. Bardo dan Suketi menjadi pasangan harmonis yang lantas dikaruniai dua anak Rio dan Preti. Keluarga yang harmonis itu lantas terganggu oleh saingan bisnis dari Bardo yaitu Joni yang mengetahui rahasia bahwa sebenarnya Suketi adalah Sundel Bolong. Ki Rengga ayah Suketi ternyata adalah seorang dukun yang dengan ilmunya dapat membuat Suketi menjadi sosok manusia normal dan mengangkatnya sebagai seorang anak. Cerita berlanjut dengan Suketi yang akhirnya menuntut balas kepada Joni dan anak buahnya yang telah berhasil mengembalikan Suketi menjadi sosok Sundel Bolong sehingga menghancurkan relasi harmonis keluarganya.

*

Agama dan para dukun. Yang juga menarik untuk diperhatikan dalam film-film garapan Sisworo adalah peran para dukun sebagai mediator sekaligus disruptor antara dunia yang natural dan supernatural. Mereka ada yang berperan sebagai tokoh yang antagonis maupun protagonis. Di film Malam Satu Suro (1988) ada Ki Rengga seorang dukun yang digambarkan dengan cukup positif. Ki Rengga adalah seorang dukun dan ayah angkat Suketi. Suketi yang pada mulanya merupakan Sundel Bolong yang bergentayangan untuk menuntut dendam kepada orang-orang yang telah memperkosanya, berhasil diubah menjadi manusia oleh Ki Rengga dengan menancapkan sebuah paku di kepalanya. Sejak saat itu dia mengangkat Suketi menjadi anaknya dan merawatnya dengan penuh kasih. Dalam film yang sama ada juga sosok Mak Talo dia adalah dukun yang dibayar oleh Joni pesaing bisnis Bardo untuk memberi pelajaran pada Bardo karena menolak tawaran kerja sama bisnisnya. Mak Talo berhasil memindai Suketi dan melihat sosok aslinya sebagai Sundel Bolong, sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang biasa. Mak Talo juga yang berhasil melepaskan paku dari kepala Suketi sehingga ia akhirnya kembali menjadi sosok Sundel Bolong. Baik Mak Talo maupun Ki Rengga keduanya juga memiliki kemampuan bela diri yang sangat baik bahkan dapat beradu pukulan dan tendangan dengan makhluk halus.

Dalam film Pengabdi Setan (1980) dukun itu ada pada sosok Bi Darminah. Ia memiliki kemampuan untuk mencelakakan dan membunuh orang dengan cara yang sangat misterius. Orang-orang yang telah berhasil ia bunuh kemudian jasadnya dapat ia hidupkan kembali seperti layaknya zombie dan ia kendalikan sepenuhnya untuk melakukan apa yang ia inginkan.

Sedangkan di Malam Jumat Kliwon (1986) sang dukun yang anonim memiliki kemampuan teluh untuk membuat perempuan hamil (Roro Ayu Minati) melahirkan bayinya melalui punggung. Tokoh yang seringkali muncul secara anonim adalah para kyai atau pemuka agama dalam hal ini Islam yang seringkali muncul di akhir cerita dan selalu berhasil mengalahkan dukun jahat ataupun makhluk-makhluk halus. Pada cerita Pengabdi Setan sang kyai bahkan bisa sampai membakar Bi Darminah hanya dengan melafalkan Ayat Kursi. Sebenarnya ini merupakan simbolisasi yang sangat kasar soal dualisme moral. Mengenai kebaikan yang pada akhirnya akan selalu mengalahkan kejahatan.

Meskipun tokoh para dukun dan kyai tersebut perannya berada di pinggiran dan tidak selalu disorot dengan latar yang cukup, namun para kyai anonim dan dukun ini sebenarnya adalah aktor-aktor kunci dari elemen supernatural dalam film-film horor Sisworo karena merekalah sebenarnya yang memiliki jangkauan dan pengetahuan untuk melampaui dunia natural yang ditinggali oleh orang-orang biasa dan menavigasi hal-hal yang bersifat supernatural. Artinya yang supernatural sebenarnya tidak sungguh-sungguh berada di luar realitas yang kita cerap lewat panca indra. Dia dapat diretas melalui ilmu dan pengetahuan, melalui dukun atau kyai. Mereka juga sering menjadi pembuka maupun penutup dalam film Sisworo. Alfa dan Omega.

*

Humor pinggiran horor. Agar lebih dekat sebagai sebuah hiburan rakyat, film horor Sisworo menggunakan elemen humor yang seringkali direpresentasikan oleh sosok Bokir. Peran Bokir yang sangat komikal selalu menjadi sasaran kejahilan makhluk-makhluk halus. Ia memainkan peran-peran yang dekat dengan rakyat kecil seperti hansip, penjual sate keliling, sampai penyanyi dangdut kampung. Elemen humor ini memang selalu terlihat sebagai sebuah tempelan terkadang ia tidak benar-benar terhubung dengan alur utama cerita film. Sebuah negosiasi agar film-film horornya Sisworo menjadi relevan pada publik luas.