Masyarakat internet di Korea Selatan semakin menggebu, kalau tidak mau dibilang gelisah, dalam usaha mengukuhkan identitas kebudayaan mereka. Sejumlah film dan drama sageuk (kolosal, sejarah) diprotes, bahkan diboikot, karena dianggap melecehkan sejarah. Tahun ini, sebut saja drama Mr. Queen yang nyaris dihentikan penayangannya, disusul Joseon Exorcist yang malah sampai diboikot produksinya. Usut punya usut, keduanya selain ditulis oleh penulis naskah yang sama dan tuduhan distorsi sejarah, juga mengandung elemen yang sensitif buat warga Korea: ada unsur drama yang made in China.
Mr. Queen diprotes karena penyelewengan karakter drama yang berbeda dari karakter sejarah aslinya. Sebagian warganet Korea Selatan menuntut penggantian nama karakter dalam Mr. Queen agar tidak sama dengan tokoh sejarah sebenarnya. Apalagi drama ini toh memang fiksi yang diadaptasi dari novel dan drama produksi China, ditambah lagi penulis novel aslinya sempat terkena tuduhan menghina budaya Korea. Selain itu ada juga indikasi distorsi sejarah berkaitan dengan penggunaan referensi catatan kuno kerajaan yang tidak tepat. Kata mereka, agar tidak menimbulkan kebingungan sejarah bagi penonton muda dan penggemar internasional. Alasan yang sama juga dipakai untuk memboikot Joseon Exorcist. Drama sageuk bertema zombie itu dihentikan produksinya karena dianggap melecehkan tokoh sejarah Raja Taejong dengan menggambarkannya sebagai raja pembantai. Ini sebelum disusul alasan lain yang lebih membuat warganet naik pitam. Ada busana dan perlengkapan makanan Tiongkok yang dipakai dan dimakan oleh karakter drama.
Bisa dibilang Joseon Exorcist memang sedang sial saja. Selain kontroversi Mr. Queen belum usai, drama itu tayang ketika warganet Korea Selatan masih belum melupakan kejadian klaim China atas kimchi sebagai makanan tradisional mereka. Juga yang lebih baru adalah perseteruan warganet China dan Korea Selatan memperdebatkan asal-usul hanbok (pakaian tradisional Korea Selatan). Dua hal yang tengah diributkan ini kebetulan muncul bersamaan dalam drama yang distorsi sejarahnya sendiri tengah menjadi kontroversi. Akhirnya rating tinggi di episode pertama berubah menjadi seruan boikot pasca penayangan episode keduanya.

Joseon Exorcist (2021) yang digawangi (kiri ke kanan) Park Sung Hoon, Kam Woo Sung, dan Jang Dong Yoon
Fiksi dan Distorsi
Drama sageuk memang sensitif. Tanpa riset sejarah yang memadai, ia hanya akan berakhir menjadi drama kostum dengan kisah roman klise yang tidak banyak memberikan nilai tambah bagi penontonnya. Namun drama sageuk yang bersikeras mempertahankan sejarah dan mencitrakan tokoh, latar, kostum, dan alur cerita cenderung membosankan dan “berat” apalagi dengan banyak episode dan bahasa kuno yang makin terdengar asing di telinga. Karenanya sejak 2000 an setelah aturan ketat perfilman sedikit longgar, Korea Selatan mulai berani memproduksi drama-drama fiksi sejarah yang lebih kontemporer.
Jewel in The Palace atau Dae Jang Geum (2003), Jumong (2006), dan Queen Seon Deok (2009) misalnya mencatatkan kesuksesan drama fiksi sejarah yang kemudian diikuti oleh drama lain seperti Dong Yi (2010). Setelahnya semakin banyak drama sageuk yang memodifikasi baik tokoh maupun alur cerita dengan imbuhan-imbuhan fiktif dalam berbagai genre dan berlindung di balik disclaimer bahwa cerita, tokoh, dan organisasi dalam drama hanyalah karangan belaka. Namun bagian mana yang fiksi dan sejauh mana latar sejarah yang sebenarnya digunakan hanya bisa dikenali oleh mereka yang mengetahuinya. Penggemar yang awam dan penonton internasional tetap akan memasukkan potret sejarah yang tampil di layar mereka sebagai penggambaran dari era sejarah yang sebenarnya. Namun, mengapa sebagian drama mendapat kritikan keras sementara sebagian lainnya cenderung aman-aman saja?
Produksi drama dan produk budaya lainnya di satu sisi menjadi kesempatan bagi pendidikan sejarah dan sosialisasi nilai demi konsolidasi nasional. Identitas nasional Korea Selatan dikukuhkan melalui jalan top-down, melalui regulasi politis khususnya selama pemerintahan Park Chung Hee (1961-1979). Selama dipimpin Presiden Park, industri budaya Korea Selatan menjadi corong bagi pembentukan perasaan kolektif yang mengikat. Park Seung Hyun dalam jurnal akademiknya menulis bahwa bioskop dan industri perfilman berfungsi sebagai alat untuk memblokir narasi dan representasi heterogen yang merusak budaya dan politik persatuan. Di tengah modernisasi dan industrialisasi yang juga tengah diupayakan melalui teknologi, tayangan hiburan Korea Selatan wajib mengukuhkan nilai-nilai tradisional dan menarasikan budaya asing sebagai destruktif.
Prioritas pemerintahan Park terangkum dalam 3 fokus utama: pertumbuhan ekonomi, penekanan nilai-nilai tradisional dan ingatan sejarah, dan homogenisasi identitas nasional. Untuk menguatkan solidaritas internal, musuh dari luar diperlukan. Park menstimulasi ingatan kolonial kala Jepang menginvasi Korea demi meningkatkan patriotisme dan rasa solidaritas di atas kepentingan individu warga negara. Meski rezim Park sudah lama berlalu, hasil dari upayanya mengkonsolidasikan ingatan sejarah dan identitas nasional masih kuat terasa. Dalam drama Mr. Sunshine (2018) yang cukup populer digambarkan bagaimana Jepang adalah pihak yang antagonis: jahat, tidak punya sopan santun, licik, dan brutal. Sementara Amerika Serikat adalah rekan yang dapat diandalkan meski cenderung lebih suka cari aman dan mementingkan diri sendiri. Penulis naskah kabarnya sempat membuat interpretasi yang sedikit berbeda, namun sinopsis naskah yang beredar mendapat kritikan keras dari kalangan sejarawan dan warganet karena dianggap memihak Jepang hingga akhirnya tim produksi melakukan penulisan ulang.

Gesekan Amerika Serikat dan Jepang di wilayah Joseon (sekarang Korea) dalam drama Mr. Sunshine (2018)
Ingatan Kolektif
Terjepit antara Jepang-China, Korea tumbuh bersama dilema eksistensial. Menjadi ladang tempur keduanya bahkan jauh sebelum Hideyoshi Toyotomi menginvasi daratan Tiongkok di abad 16, masa depan Korea pun bergantung pada hasil perseteruan lanjutan keduanya di abad 19. Tidak berhenti sampai disitu, perebutan hegemoni Amerika Serikat dan Rusia juga menjadikan Korea sebagai arena, menghasilkan terpecahnya Korea menjadi bagian utara dan selatan. Sejak itu khususnya Korea Selatan terobsesi untuk berdiri tegak di atas kaki mereka sendiri, menunjukkan diri sebagai negara berdaulat yang keberadaannya tidak akan lagi diasosiasikan dengan negara lain. Memanfaatkan trauma pasca perang, agenda pemerintah Korea Selatan untuk menguatkan pondasi nasional melalui pembangunan memori kolektif dalam hegemoni kebudayaan berhasil dilakukan.
Menilik Maurice Halbwachs, memori kolektif mengekspresikan keadaan tertentu dari pikiran kelompok. Tidak mungkin memisahkan memori individual dari konteks masyarakatnya, sehingga memori atau ingatan kelompok merupakan hasil konstruksi sosial. Menurutnya ingatan kolektif selalu dimediasi melalui mekanisme kompleks atas manipulasi kesadaran oleh kelompok elit dan penerimaan secara tidak sadar oleh anggota masyarakat. Ingatan sebagai korban perang berkepanjangan menjadi memori kolektif yang tertanam di benak masyarakat Korea Selatan melalui kampanye produk-produk budaya dan pendidikan sejarah.
Hanya saja selain dari narasi elit, ingatan kolektif juga perlu dilihat melalui saluran-saluran interaksi dimana ide-ide disampaikan, diperdebatkan, dibungkam, dan dinegosiasikan di luar pengaturan formal karena disanalah ingatan mengalami produksi dan reproduksi. Permasalahan timbul ketika dunia semakin terkoneksi seiring perkembangan teknologi.
Yang menarik dari ingatan adalah bagaimana ia bukan hanya rekaman dari kejadian-kejadian, melainkan juga merupakan variabel pokok atas bagaimana konsep diri dikonstruksikan. Sebagaimana lebih jauh dikatakan Langenbacher, ingatan merupakan sertifikasi atau validasi dari eksistensi diri yang digunakan untuk mengkonstruksikan identitas. Ingatan tersebut lalu disosialisasikan melalui lembaga keluarga, komunitas, dan yang lebih makro adalah negara. Jika suatu ingatan dimiliki secara kolektif, ia menjadi pondasi dari bagaimana suatu kelompok mengidentifikasi dirinya. Implikasinya, proses interaksi anggota kelompok dengan kelompok lain di tengah proses modernisasi memungkinkan adanya reproduksi, bahkan rekonstruksi ingatan dan mengancam konsepsi atas identitas diri yang berdasar pada ingatan bersangkutan. Siapa yang bisa tenang kala bangunan identitas dirinya terancam?

Lady Mishil dalam The Great Queen Seon Deok (2009)
Area Abu-Abu
Hubungan internasional secara konsisten dibentuk oleh hubungan-hubungan di masa lalu. Perhitungan rasional mendorong interdependensi ekonomi antara China – Korea Selatan – Jepang. Namun disisi lain pengalaman sejarah juga membuat tensi keamanan di antara ketiganya selalu dinamis, baik menyoal Korea Utara maupun perebutan klaim atas pulau-pulau kecil di antara ketiganya. Hal ini mendorong terbentuknya sektor kebudayaan menjadi area abu-abu dimana relasi ketiga negara dinegosiasikan.
Lewat drama misalnya. Manga Jepang berjudul Hana Yori Dango selain diadaptasi menjadi drama di negaranya sendiri, juga ikut diproduksi oleh China dan Korea Selatan, bahkan dengan popularitas yang fenomenal. Meteor Garden membuat kita mengenal Dao Ming Tse dan geng F4-nya, sementara Boys Before Flowers melambungkan nama Lee Minho ke puncak deretan aktor Korea kondang – dan, anehnya, tidak turun-turun. Idola-idola Korea Selatan juga banyak “diekspor” ke Jepang dan China. Sebaliknya, demi meraih pasar di kedua negara, banyak agensi hiburan Korea Selatan “mengadopsi” idola-idola Kpop asal China dan Jepang. Produk-produk budaya menjadi katalis yang membuat ketiganya berinteraksi, meski masih juga dalam batas-batas kepentingan ekonomi.
Walaupun masih dalam kerangka ekonomi, produk budaya cenderung lebih rentan terpengaruh dinamika politik regional dibanding produk lainnya. Sejak SM Entertainment pertama merekrut Han Geng (Han Kyung) sebagai member China untuk grup Super Junior, isu eksploitasi, perlakukan diskriminasi, perselisihan hukum, dan konflik keuangan mewarnai perjalanan upaya agensi Korea Selatan untuk merekrut talenta asing, khususnya dari China dan Jepang. Setiap kali terjadi konflik, masyarakat masing-masing negara yang menikmati secara langsung produk budaya tersebut tak melewatkan kesempatan menunjukkan persepsi negatif satu sama lain. Boikot konser, penjualan album, petisi perlindungan idola, viralisasi tagar, atau sebatas aksi balas-balasan komentar jahat di media sosial adalah biasa terjadi setiap isu regional mengemuka.
Ini juga yang terjadi pada Mr. Queen, Joseon Exorcist, dan beberapa drama Korea lain yang membawa unsur China atau Jepang. Urusan kimchi membuat saya batal menonton aksi Jang Dong Yoon melawan zombie.
Referensi
- Peter J. Verovšek (2016): Collective memory, politics, and the influence of the past: the politics of memory as a research paradigm, Politics, Groups, and Identities
- https://asiasociety.org/china-korea-and-japan-forgiveness-and-mourning (diakses tanggal 8 April 2021)