Netflix saat ini telah menjelma menjadi mesin penghiburan global apalagi dan terutama ketika banyak orang di penjuru dunia harus membatasi jarak dan interaksi dengan individu lain seiring hadirnya pandemi. Bagi sebagian yang memiliki privilise, Netflix membantu meringankan beban psikologis yang diidap karena tergerusnya apa yang sosial dari tiap individu. Ini juga merupakan salah satu siasat paling mujarab kapitalisme. Dia memberikan kita kenikmatan dengan segala bentuk simplifikasinya yang seringkali memadatkan proses-proses organik yang awalnya terpisah-pisah ke dalam satu format. Fenomena Netflix juga memperkuat relasi kita dengan budaya layar sentuh setelah banyak kegiatan harian juga terpaksa harus di-’zoomifikasi’.
Sepanjang tahun 2020 yang baru saja lewat, saya menghabiskan cukup banyak waktu menatap layar menyaksikan sajian serial-serial Netflix. Dari sekian banyak yang saya tonton, baik yang pertama kali maupun yang saya tonton kembali, setidaknya ada dua serial yang menarik untuk diulas. Baik karena isi cerita, pendekatan sinematik, maupun representasi yang disajikan. Dua serial itu adalah Messiah (Michael Petroni, 2020) dan Paranormal (Amr Salama, 2020).
Meskipun banyak mengundang kontroversi sejak trailernya dirilis pada awal Desember 2019, serial Messiah tetap ditayangkan Netflix di bulan Januari 2020. Ide dari serial ini datang dari Michael Petroni seorang sutradara Australia yang juga membidani Queen of the Damned (2002) dan The Rite (2011). Premis cerita serial ini sesungguhnya menjanjikan dan provokatif. Bagaimana jika seorang tokoh profetik yang banyak diramalkan dalam kitab-kitab suci tiba-tiba muncul di dunia kekinian lengkap dengan jalinannya pada kemajuan teknologi dan dinamika politik internasional?
Cerita dari Messiah ini mengorbit pada sosok yang mengaku sebagai Al-Masih yang pertama kali muncul berkhotbah di tengah Ibu Kota Suriah, Damaskus. Persis ketika ISIL akan mulai meluncurkan serangannya di kota itu, yang akhirnya terhalau oleh badai pasir. Banyak yang mengimani bahwa badai pasir tersebut datang karena intervensi Al-Masih sehingga ia mendulang pengikut dari para penduduk Suriah yang negerinya luluh lantak karena perang. Al-Masih menuntun para pengikut barunya yang berjumlah dua ribu orang ke perbatasan Israel. Kehadiran Al-Masih dan para pengikutnya di perbatasan Israel membuat gusar otoritas Israel dan tentu juga CIA. Apalagi setelah ditangkap oleh aparat keamanan Israel, Al-Masih bisa meloloskan diri dan tetiba terlihat muncul berkhotbah di pelataran Masjid Al-Aqsa dengan menghadirkan frasa-frasa apokaliptik tentang akhir dari sejarah. Setelah menyebabkan keriuhan di Timur Tengah, Al-Masih lantas menghilang dan tetiba muncul di Amerika, yang disambut sebagai harapan messianik-mileniaris. Bagi banyak pengikutnya, Al-Masih mampu menunjukkan banyak keajaiban yang memenuhi kriteria pada ramalan eskatologis the second coming atau kemunculan kedua Yesus.
Serial Messiah tampil dengan narasi patriotik ala Amerika dengan representasi serupa film Rambo. Kita bisa melihat misalnya bagaimana Islam digambarkan sebagai agama yang kasar dan begitu konservatif dalam melihat kedatangan Messiah. Para pengikut dari Suriah yang ditinggalkan oleh sang Messiah karena kepergiannya ke Amerika dan ditelantarkan di perbatasan Israel banyak yang frustasi. Mereka lalu memutuskan meninggalkan tempat itu dan pergi ke Yordania dengan menanggalkan seluruh kepercayaannya pada Al-Masih, dimana mereka justru menjadi mangsa empuk bagi rekrutan kelompok teroris Islam. Salah satu bekas pengikutnya bahkan menjadi seorang pelaku bom bunuh diri di sebuah masjid. Al-Masih yang sama yang berada di Amerika, justru tampak berhasil mempengaruhi Presiden Amerika untuk mempertimbangkan menarik pasukan Amerika dari seluruh belahan dunia lain. Dalam doktrin Al Masih, penarikan pasukan akan menunjukkan niatan Amerika untuk menjaga perdamaian dunia. Di Amerika, Al Masih juga tampak dengan mudah beradaptasi dengan kebudayaannya. Dia sering hadir dengan tampilan sporty layaknya disponsori merek-merek seperti Nike atau Adidas: sebuah simulasi yang sempurna dari nabi yang turun kembali dalam tahap realisme kapitalis.
Selain ide cerita provokatif – yang mungkin bisa membuat jatuh hati banyak pecinta film tentang konspirasi internasional – pernyataan politiknya juga sangat kental. Soal ini telah disinggung bahkan sedari episode perdana pada adegan dimana sang tokoh protagonis yang adalah seorang agen CIA Eva Geller (Michelle Monaghan) berbincang dengan Keon yang merupakan seorang pelayan di sebuah café sekaligus mahasiswa ilmu politik. Keon yang tengah menunggu Eva yang menjadi pelanggan terakhir di café tersebut tampak dengan khidmat membaca buku The Clash of Civilizations dari Samuel Huntington sebagai bahan untuk makalah yang harus ditulisnya. Eva mencoba membuka perbincangan dengan menyatakan bahwa apa yang dituliskan oleh Huntington dalam buku Clash of Civilization itu benar adanya. Eva yang mengaku bahwa dirinya seorang nerd dan bertugas menangani soal-soal Timur Tengah sebagai agen CIA merupakan seorang Huntingtonian.
Tesis Huntington mengenai benturan antar peradaban memang banyak diterima di Amerika terutama pasca serangan teror 11 September 2001, meskipun konsep peradaban Huntington tampak begitu menyederhanakan dan problematik. Sebagian dari kita tau bahwa Islam bukanlah bentuk yang monolitik. Misalnya Islam yang dianut di Timur Tengah dan Asia Selatan menunjukkan perbedaan-perbedaan begitu besar. Perbedaan yang besar ini juga seringkali menjadi sumber konflik di dalam peradaban Islam dalam sejarah panjang 1,500 tahun terakhir. Benturan lebih sering terjadi di dalam peradaban Islam sendiri dibanding perbenturan dengan peradaban lain.
Pada serial Paranormal kita bisa melihat dari dalam, salah satu representasi peradaban Islam menurut kategorisasi Huntington – terima kasih kepada ekspansi Netflix. Dengan latar Mesir tahun 1960-an yang coba dihadirkan oleh Amr Salama, kita merasakan bahwa Islam selalu berkontestasi dengan identitas pharaonism pra-Islam. Bahkan sedikit sekali referensi Islam yang ditunjukkan dengan gamblang. Ahmed Khaled Tawfik sang penulis novel sumber cerita dari serial Paranormal ini lebih banyak bergumul dengan tema pertentangan antara sains dan metafisika, enersi yang merasuk ke jantung mistik Timur Tengah. Meskipun dalam kasus Paranormal kehadiran sains tampak membingungkan, kita dapat menemukan para saintis yang lebih percaya pada kartu tarot dibanding metode saintifik dalam meramalkan masa depan.
Dr. Refaat Ismail (Ahmed Amin) seorang Hematologist, adalah individu yang banyak terjebak dalam kisah yang datang dari masa lalunya. Hal ini dipengaruhi pengalaman misteri dan interaksinya dengan hantu-hantu pada masa kanak-kanak di pedesaan Mesir dan juga drama dengan perempuan yang dia kagumi saat menempuh studi lanjut di Skotlandia. Dia seorang yang sangat mengagumi Murphy’s Law dan terinspirasi untuk menciptakan hukumnya sendiri agar dapat mengatasi fenomena di luar nalar yang sering dialaminya, tentu dengan tambahan candaan humor yang gelap. Sepanjang seri kita disajikan dengan monolog-monolognya, simbol represi dirinya kepada dunia luar. Pada usianya yang 40 tahun dia tampak jauh lebih tua dengan gerak yang ringkih. Namun dalam setiap episode dia mampu menghadirkan petualangan ala Indiana Jones yang dikombinasikan dengan X-files; Ia menghadapi arwah mumi dan incubus sampai berpetualang di gurun pasir Libya.
Berbeda dengan Indonesia yang sering mencampuradukkan kata hantu dan setan (misalnya kita sering mendengar istilah ‘film setan’ untuk menggeneralisir genre film horor dan misteri), di dalam bahasa Inggris, kita dapat menemukan perbedaan konsep yang jelas antara hantu (ghost) dan setan (satan, devil). Konsepsi ini didapatkan dari doktrin Kristen yang membedakan antara keduanya. Hantu lebih merupakan arwah atau roh dari orang yang meninggal dan kembali menampakkan diri tetapi tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan manusia. Dalam doktrin Kristen, arwah orang yang meninggal ini dapat menampakkan diri dengan izin dari Tuhan, biasanya para hantu menampakkan diri untuk meminta doa dari orang-orang yang masih hidup. Sedangkan setan atau iblis dapat merasuki manusia yang hidup dan membujuk mereka untuk melakukan sesuatu yang jahat, untuk tujuan menyesatkan manusia. Setan (satan) lebih merupakan personifikasi dari kategori etika moralitas manichean. Meskipun memiliki latar di negara Islam, serial Paranormal tampak menggunakan konsepsi seperti itu.
Hantu dan roh-roh dalam Paranormal tampak mencoba dengan keras menginvasi ruang dan waktu. Keberadaan mereka juga selalu bergantung kepada lokasi-lokasi fisik seperti rumah, kuil dan danau. Dalam waktu, hantu dan roh-roh selalu menjadi perwakilan masa lalu yang tidak bisa sepenuhnya mewujud pada masa sekarang. Di dalam ombang-ambing antara ruang urban dan pedesaan, para hantu dan roh itu menjadi subjek yang selalu berada tidak pada tempatnya. Disrupsi yang dilakukan oleh para hantu dan roh menjelma menjadi halangan pada masa depan yang seperti enggan untuk hadir.