“Cream-colored ponies and crisp apple strudels
Doorbells and sleigh bells
And schnitzel with noodles
Wild geese that fly with the moon on their wings
These are a few of my favorite things”
Penggalan lirik tersebut diambil dari lagu My Favorite Things yang dinyanyikan Maria (Julie Andrews) untuk menghibur anak-anak keluarga Von Trapp ketika malam-malam disertai badai mendera yang membuat mereka gentar ketakutan. Itu adalah salah satu scene yang paling memorable bagi saya dari film Sound of Music (1965) garapan sutradara Robert Wise, sutradara yang sama yang juga menggarap film Star Trek: The Motion Picture (1979). Scene tersebut selalu terbayang begitu saya mendengarkan lagu My Favorite Things yang diinterpretasikan ulang oleh Laibach di album mereka Sound of Music (2018). Sesaat akan tampak menggelikan memang membayangkan percampuran antara film Sound of Music dengan karakteristik Laibach.
Laibach adalah kolektif seni yang berdiri tahun 1980 di Slovenia ketika negara itu masih berada di bawah rezim sosialis Yugoslavia. Nama Laibach diambil dari penyebutan bangsa Jerman atas Ljubljana, Ibu Kota Slovenia. Setelah kekalahan Jerman, pasca Perang Dunia Kedua, nama tersebut dilarang digunakan. Pelarangan tersebut justru menjadi alasan bagi Dejan Knez, Srečko Bajda, Andrej Lupinc, Tomaž Hostnik dan Marko Košnik untuk menggunakan nama tersebut bagi proyek artistik mereka. Agak sulit memang mendefinisikan Laibach sebagai sebuah institusi seni sejak mereka juga selalu membuka diri pada misinterpretasi. Kebanyakan orang memang mengenal mereka sebagai band yang aktif merilis album musik, namun memisahkan mereka dari produksi visual yang juga mereka ciptakan berpotensi mereduksi proyeksi artistik mereka. Laibach dikenal karena peminjaman mereka atas imaji tentang totalitarianitas yang tercermin dari musik, fesyen dan seni visualnya. Tampil menggunakan seragam militer yang seringkali diiringi dengan simbol Black Cross dan memainkan musik martial industrial dengan vokal bass yang khas, seringkali membuat mereka dilabeli cap fasis dan pendukung neo-nasionalisme. Di setiap wawancara, Laibach selalu diwakili oleh seorang ‘juru bicara’, tidak boleh ada pernyataan personal dari para anggotanya jika menyangkut tentang Laibach, yang personal adalah anonim, yang eksis adalah kolektif. Mereka bahkan menciptakan negara imajiner mereka yaitu NSK Neue Slowenische Kunst (New Slovenian Art) untuk bereksperimen dengan konsep mereka tentang nasion yang totaliter. NSK juga menerbitkan passport mereka sendiri.
Dengan konsep yang penuh dengan ambiguitas, Laibach selalu dianggap ‘pembangkang’ di bawah rezim sosialis Yugoslavia. Menurut Marina Grzinic, filsuf Slovenia yang banyak menulis tentang Laibach sejak tahun 1980-an, “Di era sosialisme, Laibach hampir saja memprovokasi revolusi”. Pergelaran keseniannya seringkali dibubarkan oleh polisi. Sampai pada tahun 1992, setahun setelah Slovenia menjadi Republik dan merupakan yang pertama memisahkan diri dari Yugoslavia, Laibach meluncurkan album Kapital yang merupakan interpretasi mereka tentang materialism, barulah mereka mendapat sorotan besar dari dunia internasional. Bahkan seluruh gaya mereka menjadi bahan duplikasi oleh band industrial Jerman, Rammstein. Laibach menggunakan konsep totalitarian hingga tahap yang paling karikatural, yang lantas menerbitkan anggapan bahwa sebenarnya apa yang Laibach lakukan adalah sebuah olok-olok pada konsep tersebut.
Laibach dan Korea Utara
All art is propaganda. George Orwell… And all propaganda is art. Laibach.
Tahun 2015 berita yang cukup mengejutkan datang dari Korea Utara, dimana mereka berencana menyelenggarakan konser rock pertama mereka dengan mengundang Laibach di hari ‘pembebasan’ atau yang dikenal dengan sebutan Liberation Day yang diperingati setiap 15 Agustus. Dua institusi yang paling sering disalahpahami oleh dunia akhirnya menemukan momen interaksinya. Gelaran tersebut dimaknai oleh Slavoj Zizek sebagai “The most fascinating cultural ideological political event in the 21st century” hadir berkat jasa seniman Norwegia Morten Traavik. Morten mendokumentasikan sebagian gelaran tersebut dan merilisnya dalam bentuk film dokumenter berjudul Liberation Day yang dirilis pada tahun 2016. Yak! hanya sebagian, karena bahkan Laibach juga tidak lepas dari sensor Korea Utara, bahkan lebih tepatnya Korea Utara kebingungan bagaimana harus menempatkan Laibach pada audiens Korea Utara. Mode kebingungan yang sama yang dihadapi oleh para anggota dan kru Laibach yang mesti menyiapkan konser namun harus berhadapan dengan kultur masyarakat yang tidak mengenal inisiatif personal dan sangat bergantung pada komando tersentral. Tanpa peran Morten Traavik sebagai mediator yang ulung, antagonisme Laibach dengan Korea Utara mungkin sulit didamaikan.
Pada level subteks kita bisa melihat betapa absurdnya jalinan interaksi antara Laibach dan Korea Utara. Pada saat konser berlangsung misalnya, kita bisa melihat betapa terkejutnya warga Korea Utara dihadapan musikalitas Laibach. Pun sebaliknya, Laibach yang setiap kali menjalankan pertunjukan musiknya dengan begitu khidmat layaknya tentara yang melakukan parade seakan tidak peduli dengan pemandangan penonton di hadapannya yang lebih banyak menunjukan sikap keheranan dibandingkan ketertarikan. Lagi-lagi tampilan parodik dari totalitarianisme.
Sound of Music (2018)
Interaksi antara Laibach dengan Korea Utara ternyata tidak selesai hanya pada konser mereka di tahun 2015 dan film dokumenter Morten Traavik Liberation Day tahun 2016. Tahun 2018 lalu Laibach merilis album cover Sound of Music yang materinya mereka garap ketika mempersiapkan konser di Korea Utara. Alasan memilih lagu-lagu dari soundtrack Sound of Music untuk konser di Korea Utara adalah karena film tersebut merupakan satu-satunya film dari Amerika yang boleh ditonton oleh publik Korea Utara. Album Sound of Music Laibach selain menyajikan interpretasi ulang dari musik yang mengiringi drama musikal dengan judul yang sama tersebut, juga menghadirkan beberapa track perpaduan dengan kultur Korea Utara, seperti lagu nasional Arirang dan musik dari instrumen Gayageum. Tentu saja perpaduan yang menimbulkan sensasi ‘aneh’ dan seperti ‘tidak pada tempatnya’. Sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi Laibach dalam menghasilkan album cover, seperti saat mereka mengcover album The Beatles, Let it Be (1988) dan Rolling Stones, Sympathy for the Devils (1989). Atau dua track di Album Opus Dei (1987) dimana mereka mengcover dua lagu dari band Austria ‘Opus’, yang salah satunya kemudian menjadi hits internasional mereka yaitu Life is Life.
Sensasi ‘aneh’ itu juga tercermin pada art cover album tersebut dimana terdapat lukisan Milan Fraz sang vokalis Laibach dikelilingi oleh anak-anak yang menggunakan pakaian khas Korea Utara. Kita bisa membaca secara jelas bahwa lukisan yang dibuat dengan meniru gaya artistik Mansudae Art Studio itu merupakan reproduksi dari gambar Maria yang sedang dikelilingi oleh anak-anak von Trapp. Laibach lalu menjungkirbalikan imajinasi kita tentang keluarga von Trapp sebagai sebuah keluarga dalam konteks Korea Utara dan Maria sang pengasuh adalah Milan Fraz sang vokalis.
Keanehan yang saya sebut di atas tentang album Sound of Music Laibach bersesuaian dengan moda ‘The Weird’ yang dijelaskan Mark Fisher dalam bukunya The Weird and the Eerie (Repeater Books, 2016) dalam menganalisa teks-teks kultural fiksi abad 21. Moda analisa yang terinspirasi dari konsep Freud tentang unheimlich. ‘The Weird’ sebagai moda oleh Mark Fisher didefinisikan sebagai berikut: “The weird is a particular kind of perturbation. It involves a sensation of wrongness: a weird entity or object is so strange that it makes us feel that it should not exist here. Yet if the entity or object here, then the categories which we have up until now used to make sense of the world cannot be valid. The weird thing is not wrong, after all: it is our conception that must be inadequate.”
Meskipun saya mengkategorikan album Laibach sebagai ‘The Weird’ dalam pengertian Fisher, bukan berarti album itu buruk. Dalam kerangka moda ‘The Weird’, saya mesti mengakui sangat kagum pada seluruh representasi yang mereka hasilkan dari album tersebut. Kekaguman itu saya rasa tertanam dan dapat tumbuh sebagai elemen terhadap para pendengar dalam interpretasi Laibach tentang Sound of Music.
Coba lihat video klip Laibach My Favorite Things, dan saksikan senyum Milan Fraz di akhir video, apakah kalian akan mempertimbangkan Milan sebagai seorang pengasuh anak yang baik?
Hari-hari belakangan Laibach mendapat banyak fans dari kalangan alt-right, meskipun di negara kelahirannya Slovenia, Laibach dikenal sebagai band yang memiliki pernyataan politis khas far left. Untuk hal ini Ivan ‘Jani’ Novak, salah satu personil Laibach menyatakan “We simply don’t belong to anyone“.