Skip to content

Lanskap Horor II: 1965/1984

Salah satu tahun yang tidak terhindarkan untuk dibicarakan jika kita ingin mengerti mengenai Indonesia kontemporer adalah 1965. Tahun itu dengan segala peristiwa yang mengiringinya membawa perubahan yang signifikan dalam arah kembang Indonesia. Peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa serta pembesaran pada sirkuit kapital, penataan stabilitas politik melalui strategi massa mengambang dan tentu otoritarianisme.

Puluhan tahun berlalu, sampai hari ini 1965 masih dibahas dengan setengah malu dan takut, jauh dari penyelesaian, upaya paling mutakhir macam rekomendasi rekonsiliasi 1965 tahun 2016 juga tampak jalan di tempat. 1965 selama puluhan tahun tetap merupakan lahan subur bagi banyak cerita konspirasi dan horor seputar peristiwa-peristiwa mengerikan pada gonjang-ganjing peralihan kekuasaan saat itu. Setidaknya ada dua peristiwa besar yang dapat dibahas secara terpisah, yaitu peristiwa penculikan Jenderal-Jenderal di tubuh Angkatan Darat yang lantas dikenal dengan nama Gerakan 30 September (G-30 S) dan kejadian pembubaran PKI paska G-30 S yang disertai dengan pembantaian, pengasingan dan pemenjaraan tanpa persidangan para simpatisannya di berbagai daerah.

Gerakan 30 September menyediakan momentum bagi Soeharto untuk perlahan merebut kekuasaan dari Soekarno yang menjadi pilar berdirinya rezim Orde Baru. Bagi Orde Baru, G-30 S diperlakukan layaknya sesuatu yang sakral, digadang menjadi semacam prestasi keberhasilan Soeharto dalam menyelamatkan negara beserta ideologinya (Pancasila) dari penghancuran oleh paham komunis. Soeharto kemudian mendirikan situs monumen lengkap dengan ritus dan kultusnya.

Sejak 17 September 1966 tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila melalui Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat. Hari Kesaktian Pancasila biasanya diperingati dengan diadakan upacara dan pengibaran bendera setengah tiang di seluruh sekolah dan instansi pemerintahan dari tingkat pusat hingga daerah. Di tingkat pusat upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila langsung dipimpin oleh Presiden, dilaksanakan di Monumen Pancasila Sakti dan biasanya disiarkan secara langsung oleh televisi nasional. Monumen Pancasila Sakti didirikan di Lubang Buaya tempat dimana para Jenderal yang diculik, dibunuh lalu dimasukan kedalam sumur tua, monumen itu diresmikan pada 1 Oktober 1973 namun inisiasi pembangunannya telah dimulai sejak tahun 1967. Monumen itu terdiri dari patung 6 Jenderal dan 1 Perwira yang menjadi korban penculikan G-30 S yang kemudian dikenal dengan 7 pahlawan revolusi, selain itu terdapat pula Museum Pengkhianatan PKI yang berisi patung dan diorama kekerasan vulgar yang dituduhkan kepada PKI pada saat G-30 S.

Tahun 1984, tahun yang populer karena dikaitkan dengan karya seminal George Orwell tentang negara totalitarian, Rezim Orde Baru merilis secara komersial satu film propaganda penting yang digarap oleh Arifin C. Noer dengan judul Penumpasan Pengkhianatan G-30 S/PKI. Diproduksi oleh Produksi Film Negara berdasarkan materi sejarah yang diarsiteki oleh Nugroho Notosusanto. Film ini memang bukanlah satu-satunya produk budaya yang dihasilkan atau disponsori oleh Orde Baru untuk tujuan propaganda mengenai G-30 S dan komunisme, namun dengan strategi distribusi penayangan ke sekolah-sekolah dan instansi pemerintah dan diputar berulang-ulang di setiap malam 30 September di seluruh stasiun televisi selama belasan tahun membuat film ini menjadi salah satu film Indonesia yang cukup luas ditonton dan berpengaruh secara mendalam.

*

“Komunis bergerak seperti setan yang tidak kelihatan” – Anonim (Penumpasan Pengkhianatan G 30S/PKI, 1984)

 

Film dan Propaganda Orde Baru. Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI digarap dengan serius dan memakan durasi kurang lebih 4 jam 30 menit. Film yang didasarkan oleh narasi Nugroho Notosusanto mengenai G-30 S yang berfokus dan menekankan pada peran sentral PKI terutama biro khusus yang dipimpin oleh Syam Kamaruzaman dan Aidit pada G-30 S serta heroisme Soeharto yang mencoba menyelamatkan negara yang sedang dalam keadaan gawat. Film ini merangkum keseluruhan narasi Orde Baru mengenai G-30 S yang memberikan legitimasi sejarah bagi berdirinya rezim tersebut.

Filmnya sendiri sebenarnya tergolong sebagai dokudrama. Namun dengan kebutuhan sebagai alat propanda, film ini memberi porsi pada sensasi horor dan teror yang cukup besar dan mungkin membawa mimpi buruk bagi banyak penontonnya. Film dimulai dengan menggunakan arsip, cuplikan-cuplikan berita kiprah PKI yang penuh konflik mulai dari peristiwa Kanigoro, aksi sepihak Bandar Betsy, kilas balik pemberontakan 1948, keinginan untuk membentuk angkatan kelima yang didukung oleh RRC dan konfliknya dengan Angkatan Darat terutama Jenderal Ahmad Yani. Kita bisa melihat seluruh sentimen film ini terhadap PKI sejak 5 menit pertama.

Setelah itu film dilanjutkan dengan adegan pemeriksaan kesehatan Presiden Soekarno oleh tim dokter dari RRC. Gerak-gerik tim dokter yang penuh kecemasan dibantu scoring musik yang membangun suasana tentang ketidakpastian, teror pertama telah dimulai. Berikutnya kita disuguhkan adegan yang melompat dari satu rapat ke rapat lainnya. Rapat-rapat yang digelar oleh Komite Sentral PKI dan perwira-perwira militer yang telah diinfiltrasi oleh PKI merencanakan gerakan untuk menghalau Dewan Jenderal. Dalam film setidaknya rapat-rapat itu dimulai sejak awal Agustus. Kita disituasikan kedalam posisi untuk merasakan konspirasi dalam proses, dibuat menanti hingga waktu aksinya di akhir September. Adegan-adegan rapat sengaja dibuat dengan penuh ketegangan dalam ruang-ruang tertutup dan pengap dan kebanyakan dilakukan pada malam hari. Kamera seringkali memperlihatkan rokok yang disulut dan dimatikan, asbak-asbak yang penuh dengan puntung rokok dan para peserta rapat yang bergerak dengan tidak tenang dan penuh kegelisahan. Rapat-rapat itu menunjukkan peran sentral Aidit dan Syam Kamaruzaman dalam mempersiapkan detil-detil G-30 S. Mengarahkan tuduhan bahwa merekalah dalang sesungguhnya dari gerakan dengan memanfaatkan dan menginfiltrasi elemen-elemen Angkatan Darat, Angkatan Udara dan Cakrabirawa.

Ketegangan adegan-adegan rapat tersebut kadang dijeda dengan penggambaran situasi krisis pada kala itu. Antrian-antrian panjang masyarakat saat membeli kebutuhan sehari-hari, lalu secuplik kisah tentang ibu dan anak yang harus menggelandang di Jakarta setelah sang bapak dibunuh oleh para anggota PKI di kampung halamannya, juga ada gambaran tentang satu keluarga dimana sang bapak yang digambarkan begitu religius mengkhawatirkan dan mengeluhkan keadaan saat itu yang penuh tekanan karena intrik-intrik yang diklaimnya dilakukan oleh kaum komunis dan PKI. Yang tak kalah menarik sebenarnya adalah bagaimana kita melihat seluruh atmosfir film kadang berubah ketika adegan beralih kepada sosok Pierre Tendean, seketika scoring menjadi melankolis dan gambaran Pierre Tendean begitu simpatik.

Adegan paling gore dalam film ini ada dalam adegan penculikan para jenderal yang berdarah-darah. Jenderal Ahmad Yani dan Mayjen M.T haryono yang melawan ketika hendak dibawa oleh pasukan Cakrabirawa melakukan perlawanan sehingga ditembak di rumah mereka masing-masing. Brigjen D.I Pandjaitan tampak dengan sukarela dan pasrah mengikuti permintaan para pasukan yang akan membawanya, namun karena dianggap menghambat ketika berdoa di depan rumah sebelum akan dinaikkan ke truk, ia ditembak dan mayatnya diseret masuk ke dalam truk. Salah satu putrinya yang melihat penembakan itu berlari ke tempat dimana ayahnya ditembak yang hanya bersisa genangan darah, lalu bersujud dan secara dramatik mengusapkan darah ke mukanya seraya menangis dan berteriak-teriak. Jenderal Nasution berhasil lolos, namun putrinya Ade Irma Suryani tertembak, sedangkan ajudannya Kapten Pierre Tendean dibawa oleh para pasukan Cakrabirawa. Begitu pula Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, Mayjen Siswondo Parman dan Letjen Soeprapto ditangkap dan dibawa ke Lubang Buaya dalam keadaan hidup.

Dalam pengadeganan di Lubang Buaya kita bisa melihat gambaran kekerasan yang sangat brutal. Para Jenderal yang masih hidup dipukuli dengan popor senjata, disundut oleh rokok, wajahnya dilukai dengan silet dan penggunaan arit untuk menyiksa. Dengan dialog ikonik macam “Darah itu merah Jenderal!”. Sedangkan Gerwani dan Barisan Pemuda digambarkan menari-nari di luar gubuk penyiksaan itu dengan menyanyikan lagu genjer-genjer. Setelah itu mayat ketujuh korban itu dimasukkan kedalam satu lubang yang kemudian ditutup dan ditanami pohon pisang. Ini merupakan fantasi paling barbar dari Orde Baru dengan tujuan untuk mendehumanisasi PKI dan seluruh simpatisannya. Penyiksaan ekstrim di Lubang Buaya itu tidak pernah terbukti, hasil visum dari ketujuh korban G-30 S menyatakan tidak ada mata yang dicungkil, sayatan silet ataupun bagian tubuh yang dimutilasi seperti apa yang digambarkan dalam film.

Setelah adegan yang penuh kekerasan dari proses penculikan dan penyiksaan di Lubang Buaya. Nuansa film agak sedikit berubah. Bagian setelahnya lebih banyak menggambarkan kiprah Soeharto dalam melakukan perencanaan dan penyerangan balik kepada pasukan-pasukan yang terlibat dalam G-30 S. Latar rapat-rapat yang dilakukan dengan Soeharto sangat kontras berbeda dengan rapat-rapat yang dilakukan oleh para partisan G-30 S. Rapat-rapat dilakukan kebanyakan tampak pada pagi dan siang hari dengan ruangan yang tampak besar, putih dan steril. Film selesai setelah Soeharto dan pasukan RPKAD memukul mundur pasukan G-30 S di Lubang Buaya dan menemukkan sumur dimana mayat para Jenderal dibuang. Film diakhiri dengan mengharu biru memperlihatkan prosesi evakuasi dan pemakaman para Pahlawan Revolusi dengan diiringi lagu gugur bunga.

*

Eksorsisme G-30 S. Hari ini seluruh propaganda Orde Baru terkait G-30 S masih tersisa dan jejaknya terus lestari. Film Penumpasan Pengkhianatan G-30 S PKI bisa kita temukan di kanal Youtube dan menarik begitu banyak penonton. Selebrasi nonton bareng di malam 30 September juga sering dilakukan dengan sponsor dari negara. Hantu komunis terus direproduksi tiap tahun untuk beragam kepentingan politis.

Proses eksorsisme pada lokus angker 65 melalui kajian akademik telah banyak dilakukan salah satu yang penting untuk disebut adalah karya John Rossa Pretext for the Mass Murder (2006) yang menawarkan analisis menarik serta tajam mengenai G-30 S. Buku ini bahkan sempat masuk dalam daftar buku terlarang Kejaksaan Agung pada tahun 2009, yang membuat penulisnya merilis gratis buku itu melalui internet. Upaya eksorsisme ini memang masih belum bisa menandingi dahsyatnya propaganda Orde Baru, salah satunya melalui film horor yang paling sukses yang disponsori oleh negara: Penumpasan Pengkhianatan G-30 S PKI.