Film Dukun Lintah (Ackyl Anwari, 1981) langsung dimulai dengan adegan sang dukun (A.N. Alcaff) yang sedang merapal mantra. Adegan lalu beralih kepada iring-iringan pengantin yang melewati jalan hutan-hutan desa. Ternyata rombongan ini merupakan target serangan sang dukun. Tidak ada motif atau alasan yang terungkap kenapa sang dukun menyerang rombongan beserta pasangan pengantinnya, adegan awal ini hanya berfokus pada fenomena serangannya. Seperti juga judul filmnya, sang dukun menyerang rombongan tersebut dengan medium lintah. Serangan tersebut terlihat sangat fatal bagi seluruh anggota rombongan, ada yang tampak lari tunggang langgang, ada yang tersungkur kesakitan dan ada juga yang tampak meregang nyawa. Dukun lintah tampaknya juga memiliki kemampuan penglihatan jarak jauh sehingga begitu rombongan tersebut mendapatkan serangan yang tak dapat mereka bendung lantas ia tertawa puas kegirangan dengan kemenangannya. Adegan awal ini sebenarnya dapat memunculkan pertanyaan menarik tentang apakah lintah-lintah tersebut merupakan manifestasi atau perwujudan dari kekuatan hitam sang dukun? Sehingga sebenarnya lintah yang menyerang itu bukanlah ‘hewan’ lintah yang sesungguhnya, ataukah itu memang lintah sungguhan yang dapat menuruti perintah sang dukun? Jika begitu maka kita dapat mengandaikan bahwa lintah memiliki sebuah sistem pengetahuan dan komunikasi kolektif dimana mereka dapat terhubung dengan sang dukun dan menuruti perintahnya dan mengkoordinasi serangan.
“Soalnya manusia selalu berubah menuju pembaharuan.” – Hendra (Hendra Cipta)
Cerita kemudian beralih kepada drama percintaan dan kehidupan Hany (Susanna Caecilia) dan Nurdin (Alex Kembar). Hany dan Nurdin adalah sepasang muda mudi yang telah menjalin asmara. Konflik muncul ketika ayah Hany yaitu Rustam (A. Hamid Arif) yang merupakan seorang pengusaha ingin menjodohkan Hany dengan anak dari koleganya yaitu Hendra (Hendra Cipta) yang baru saja pulang dari lulus dari pendidikan tinggi di luar negeri. Perjodohan ini semula dikarenakan Rustam memiliki hutang dengan ayah Hendra, Hidayat (S. Bono). Elemen horor pada puluhan menit di bagian cerita ini hampir absen. Kita justru disuguhkan banyak percakapan mengenai benturan nilai-nilai etis. Kita bisa melihat misalnya pada salah satu penggalan percakapan antara Hendra dan Rustam:
Hendra: “Dan juga Pak ketika kita terlalu beretiket ada kalanya menjurus pada kepalsuan.”
Rustam: “Hebat! Hebat sekali tidak sia-sia didikan luar negeri.”
Atau bagaimana Hany yang mencoba memberontak dari hegemoni orang tuanya dengan mengeluarkan pernyataan semacam: “Meskipun aku keluyuran tapi pikiranku jalan terus. Aku punya cara sendiri menentukan masa depanku.”
Juga kritik terhadap perguruan tinggi di Indonesia yang tampaknya begitu sulit untuk bisa menjadi relevan dengan kehidupan sehari-hari. Ini terjadi misalnya ketika Hany berbincang dengan ibu dan bapaknya dan mempertanyakan fungsi pendidikan tinggi. Hany yang saat itu belum mampu lulus untuk masuk perguruan tinggi lantas menggugat bapaknya yang sarjana pertanian ujungnya menjadi seorang pengusaha yang biasa saja sedangkan ibunya yang lulusan jurusan filsafat akhirnya hanya menjadi ibu rumah tangga. Tidak kalah dari Hany, Hendra dalam percakapan dengan Hany juga sempat menyinggung mengenai inflasi para sarjana dan juga menyampaikan satu pernyataan layak kutip:
“Ilmu pengetahuan bukan hanya didapat di perguruan tinggi. Sebaliknya kau bisa banyak belajar pada kehidupan sehari-hari.”
Seluruh upaya Hendra untuk mendapatkan Hany tampak menemui jalan buntu. Ia telah mencoba dari mulai mengeluarkan gombalan-gombalan murahan sampai mencoba menghipnotis Hany yang kemudian digagalkan oleh Nurdin. Kuatnya ikatan cinta antara Hany dan Nurdin akhirnya membuat Rustam menyerah dan menggagalkan rencananya untuk menjodohkan Hany dan Hendra. Hany dan Nurdin kemudian menikah dengan perayaan yang sederhana saja. Namun Hendra masih belum menyerah dan akhirnya menemui dukun lintah untuk merusak pernikahan Hany dan Nurdin.
Seperti juga apa yang telah diperlihatkan oleh sang dukun di awal film, ia juga menggunakan lintah untuk menyerang Nurdin. Bedanya kali ini lintah itu tidak memberikan efek serangan dahsyat yang langsung dan mematikan, lintah itu masuk melalui perut Nurdin yang sedang terlelap dan baru memberikan efek pada pagi hari ketika Nurdin terbangun tampak dengan sakit kepala lalu muntah darah dan akhirnya tak sadarkan diri. Keluarga Nurdin dan Hany kemudian membawanya ke rumah sakit, setelah upaya untuk menyembuhkan Nurdin melalui ilmu kedokteran modern tampak tidak membuahkan hasil, salah satu kerabat Nurdin mengusulkan untuk membawanya ke desa untuk mendapatkan perawatan alternatif. Setelah seluruh keluarga setuju, Nurdin dibawa ke desa dan dirawat oleh Mak Ondong (Wolly Sutinah). Begitu dukun lintah mengetahui bahwa ada Mak Ondong yang sedang berusaha menyembuhkan Nurdin, dukun lintah pun menyerang Mak Ondong melalui lintah yang berada di tubuh Nurdin, Mak Ondong akhirnya tewas dari serangan tersebut.
Tidak sampai disitu, lintah yang menyerang Mak Ondong secara diam-diam juga menyerang seluruh penduduk desa. Modus penyerangan kali ini dengan cara merasuki salah satu warga desa kemudian mengubahnya menjadi seperti zombie atau vampir, kemudian ia menulari warga desa lainnya dengan cara menggigit leher. Serangan ini membuat hampir seluruh desa akhirnya tertular melalui transmisi orang per orang. Yang menarik adalah seluruh adegan serangan lintah dengan mengubah para warga desa menjadi zombie atau vampir ini lebih banyak menggunakan unsur humor dibanding horor. Banyak percakapan dan adegan kejar-kejaran yang kocak terjadi. Semua itu menjadi kontras dari adegan dan percakapan di kota yang serius dan cenderung filosofis.
Kerabat Nurdin yang sama yang mengusulkan Nurdin untuk dibawa ke desa akhirnya menemui Ibrahim (Ibrahim Lubis) untuk meminta pertolongan. Berkat campur tangan Ibrahim yang tidak lain merupakan kakak dari sang dukun lintah yang tampaknya juga seorang ulama (terlihat dari simbol pakaian yang berwarna putih dan mengenakan kopiah hitam), menghentikan serangan dukun lintah dengan bacaan-bacaan ayat Al-Quran, ia mengendalikan kekuatan alam di sekitar rumah dukun lintah dan berhasil menewaskan sang dukun dan juga Hendra. Setelah sang dukun lintah tewas seluruh warga desa pun akhirnya sadar seutuhnya. Lintah-lintah yang bersemayam di tubuh Nurdin pun akhirnya dikeluarkan oleh Ibrahim dan Nurdin akhirnya sembuh. Film berakhir dengan suka cita.
Dalam film horor klasik Indonesia dukun tampaknya memang material yang paling mudah untuk digali karena posisinya yang dekat dengan realitas sosiologis masyarakat Indonesia. Dalam film, dukun seringkali dapat menempati peran sebagai yang antagonis maupun protagonis yang juga menjadi sebuah gambaran mengenai kompleksitas peran dukun dalam masyarakat. Film Dukun Lintah bagi saya memang tidak menggali material mengenai dukun untuk lantas mengekstraksinya secara penuh menjadi unsur horor yang tebal. Bagi saya film ini lebih banyak bercerita mengenai tegangan-tegangan nilai global dan lokal, kota dan desa, ilmu dan laku. Dukun Lintah lebih banyak menggambarkan mengenai kegelisahan masyarakat yang sedang berubah.