Tahun 1984 menghantarkan kita pada penampilan kedua Sundelbolong dalam film garapan Sisworo Gautama Putra yang lain yaitu Telaga Angker (1984). Telaga Angker mungkin adalah film Garapan Sisworo yang paling moralistik, kita bisa melihat sosok Sundelbolong yang penuh dengan pesan-pesan moral laiknya instruktur penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di jaman Orde Baru (Orba). Film Telaga Angker sebenarnya menggambarkan dengan begitu jelas bagaimana sensor Orba bekerja.
Formula cerita yang disuguhkan Telaga Angker tidak terlalu jauh berbeda dengan film pendahulunya yaitu Sundelbolong (Sisworo Gautama Putra, 1981), dengan pula mempertahankan Suzzanna sebagai pemeran utamanya. Anita (Suzzanna) dan Robby (George Rudy) merupakan sepasang suami istri yang memiliki seorang anak lelaki bernama Sandy (Sandi Taroreh). Mereka digambarkan sebagai sebuah keluarga kecil yang bahagia dan tinggal di sebuah rumah yang megah di sebuah pemukiman yang tampak elit. Turut tinggal bersama mereka adalah Lenny (Nina Anwar) yang merupakan adik Robby dan membantu mereka dalam urusan rumah tangga termasuk merawat Sandy karena Anita sedang dalam posisi mengandung anak kedua.
Momen yang mengubah kebahagiaan keluarga kecil tersebut hadir dari sebuah kebodohan. Semua bermula dari Robby, Anita, Lenny dan Sandy yang sedang mengunjungi sebuah taman hiburan. Anita, Lenny dan Sandy sedang bermain di wahana air, ketika Robby yang sedang asik mengamati mereka kecopetan. Sang copet tampaknya memang memiliki komplotan di taman hiburan tersebut. Robby sempat dihalang-halangi oleh komplotan tersebut ketika mengejar sang copet namun mereka tidak dapat menghentikan Robby yang tampaknya memiliki ilmu bela diri yang mumpuni. Ketika sang pencopet berhasil diringkus oleh Robby setelah melalui sebuah perkelahian, sang copet memutuskan untuk mengembalikan dompet Robby. Robby yang melihat uang di dalam dompetnya telah lenyap seluruhnya tampak marah lalu melempar kembali dompet (yang tampaknya masih tersimpan kartu identitas dan lain-lain) kepada si pencopet. Saya pikir pelajaran moral pertama yang bisa diambil dari film ini adalah hati-hati bertindak ketika kamu sedang emosional.
Berbekal kartu identitas yang didapat dari dompet Robby, komplotan copet dari taman hiburan tersebut kemudian dapat dengan mudah menemukan rumah tinggal Robby. Mereka ingin mencoba kembali peruntungan mereka untuk berbuat jahat kepada Robby setelah kegagalan di taman hiburan, kali ini dengan merampok rumah Robby. Hanya ada Lenny dan Anita ketika rumah itu disatroni oleh komplotan itu. Keduanya tentu tidak berdaya melawan lima orang lelaki yang memiliki senjata api. Lenny harus menemui nasib tragis mati ditikam oleh pisau setelah diperkosa, sedangkan Anita yang sempat berhasil melarikan diri dari rumah dengan membawa mobil kemudian harus tewas tenggelam di sebuah telaga setelah disudutkan oleh kejaran para komplotan tersebut. Dari dalam telaga itulah Anita berubah wujud menjadi Sundelbolong yang penuh dengan dendam dan amarah.
Perubahan Anita menjadi sosok Sundelbolong tampaknya juga diiringi dengan perubahan sikapnya untuk menjadi lebih ‘politis’. Kita bisa melihat setidaknya pada tiga adegan dimana Sundelbolong Anita memberikan pernyataan-pernyataannya yang patriotik nan heroik. Adegan pertama adalah saat Dorman (Dorman Borisman) yang merupakan seorang hansip di lingkungan desa dekat telaga digoda oleh Sundelbolong Anita yang sedang mewujudkan diri sebagai manusia. Ketika Dorman yang dipacu oleh gairah seksualnya tampak hampir berhasil dengan godaan dan ajakan kepada Sundelbolong Anita untuk ‘pacaran’, pada saat itu Anita mengubah wujudnya menjadi Sundelbolong seraya menyampaikan pesan kepada Dorman yang sedang ketakutan: “Mas Dorman, sebagai petugas negara jangan kurang ajar, jangan menggunakan wewenang semena-mena.” Adegan ini sebenarnya ada pada bagian dimana biasanya Dorman dan Bokir melakukan adegan-adegan lucu yang mengundang tawa, kita selalu bisa melihat selipan-selipan adegan humor dan komedi pada film-film horor Sisworo.
Adegan kedua terjadi saat Sundelbolong Anita melakukan balas dendam terhadap dua orang yang merupakan bagian dari komplotan pembunuhnya yang sedang bertransaksi narkoba dengan seorang bandar besar. Sebelum mulai membunuh dua orang anggota komplotan, Sundelbolong Anita berkata: “Aku adalah wanita yang kalian bunuh di telaga. Ternyata kalian juga pembunuh masyarakat, perusak generasi muda.” Sundelbolong Anita juga sempat memaki sang bandar narkoba dengan sebutan pengedar narkotik busuk! Ternyata selain menuntaskan dendamnya, Sundelbolong Anita seperti menjalankan misinya untuk menyelamatkan generasi bangsa dari narkoba. Pada adegan ketiga pesan yang ditampilkan memang lebih kompleks dari dua adegan sebelumnya. Adegan ini ada pada bagian penutup ketika Sundelbolong Anita akhirnya berhadapan dengan ketua komplotan (Johny Matakena), ketua komplotan tersebut berada di ujung tanduk dan sudah tidak berdaya menghadapi Sundelbolong Anita. Pada saat itu polisi beserta Wijaya (Rukman Herman) yang merupakan kakak Anita mencoba menghentikan aksinya. Wijaya dan kepala polisi meminta agar ia menyerahkan ketua komplotan yang sudah akan dibunuh itu ke polisi, namun ia menolak seraya mengatakan: “Tidak! Dia bukan manusia, dia lebih jahat dari setan dia harus mati di tanganku!” Sepanjang pembalasan dendam Sundelbolong Anita kepada seluruh anggota komplotan yang membunuhnya memang memperlihatkan betapa seluruh anggota komplotan itu terlibat dalam banyak kegiatan kriminal dari tingkat kecil seperti mencopet sampai yang besar seperti merampok, membunuh, mengedarkan narkoba, juga terlibat dalam bisnis prostitusi. Belum lagi fakta bahwa mereka adalah kelompok preman yang memiliki senjata api. Maka dihadapan maha kejahatan seperti itu, Sundelbolong Anita tampak memiliki moralitas tinggi serupa pahlawan super yang sedang menumpas kejahatan dibanding sebagai hantu atau setan dan manusia-manusia yang tergabung dan terlibat dengan komplotan sukses digambarkan memiliki sifat-sifat setan.
Hal kecil lain yang patut menjadi catatan adalah penolakan Sundelbolong Anita terhadap otoritas terutama kepolisian, ia memilih untuk membunuh ketua komplotan itu dibanding menyerahkannya ke polisi walaupun sudah dibujuk oleh kakaknya. Dalam film, sebenarnya polisi juga digambarkan gagal menangani kasus Anita, mereka bahkan baru berhasil mengevakuasi mobil dan mayat Anita setelah semua drama dan tragedi usai, meskipun sejak awal komplotan itu sendiri telah mengakui bahwa mereka membunuh Anita dan menenggelamkannya di telaga melalui sebuah telepon gelap kepada Robby. Sebelum akhirnya menyerah pada nasihat Wijaya dan ayat-ayat Kursi untuk kembali kepada ‘alam’nya, Sundelbolong Anita sempat mengancam: “Ingat baik-baik siapa saja yang membunuh, merampok, memperkosa serta melakukan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya, aku akan datang membunuh setiap yang melakukan perbuatan yang terkutuk!” Sebuah ancaman relijius dengan kritik tersembunyi pada kinerja polisi yang tampaknya tidak mampu memuaskan rasa keadilan korban.