Peta Kepunahan ala Oxford dan Jalan Pulang ala Indonesia

Manusia bukan hanya rapuh namun juga masih remaja dalam hitungan kosmis. Ada dua buku yang mencoba mengotopsi kenaifan yang datang dari keremajaan tersebut. Buku-buku ini lahir dari para penulis dengan dua latar disiplin yang berbeda tapi menyajikan gelisah yang sama, mengenai risiko kepunahan manusia atau existential risk. Buku pertama adalah The Precipice (Hachette Book, 2020) karya Toby Ord seorang filsuf yang mendalami soal-soal etika, dan X-Risk (Urbanomic, 2020) karya Thomas Moynihan sejarawan yang banyak tertarik dengan sejarah ide mengenai masa depan yang jauh. Keduanya terbit ketika para penulis masih aktif di Oxford Future of Humanity Institute, sebuah lembaga riset multidisiplin yang bergulat dengan gambaran mengenai peradaban manusia. Tapi-ini di Oxford. Kita akan coba meneropong ketika makin bisingnya wacana mengenai existential risk, apakah kerangka kerjanya punya tempat bagi 280 juta orang Indonesia yang setiap hari menghadapi risiko eksistensial mereka sendiri.

Toby Ord memodelkan dirinya sebagai dokter di ruang gawat darurat peradaban manusia, mengerahkan daya upayanya untuk membuat taksonomi dari risiko katastrofi global. Ia menggambarkan sebuah peta lengkap tentang ancaman-ancaman yang memungkinkan kepunahan manusia. Maka Toby Ord menulis lanskap existential risk serupa resep dokter: teknis, terstruktur, langsung pakai. Ia memperkenalkan estimasi 1-in-6, satu dari enam kemungkinan bencana eksistensial akan terjadi dalam satu abad kedepan. Estimasi ini datang dari jangkauan ancaman yang luas mulai dari teknologi seperti AI, bioteknologi sampai krisis iklim dan perang nuklir.  Sedangkan Thomas Moynihan sebagai seorang arkeolog kengerian, dalam bukunya X-Risk, menyelidiki perkembangan sejarah ide mengenai kepunahan manusia. Ia menunjukkan bahwa pengakuan akan ide bahwa suatu hari manusia bisa punah adalah sesuatu hal yang baru, ide itu baru berumur beberapa abad saja dari sejarah panjang manusia menghidupi bumi selama kurang lebih dua sampai tiga ratus ribu tahun dan merupakan buah dari modernitas. Kesulitan manusia dalam mengenal konsep kepunahan bukanlah karena metafisika tapi murni persoalan imajinasi. Kemampuan manusia untuk membayangkan kepunahan total itu justru adalah sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkan.

Thomas Moynihan mengeklaim ide kepunahan adalah produk modernitas, tapi bagaimana dengan kita di daerah cincin api? Di sini, setiap saat kita harus bersiap dengan intensitas bencana setara letusan gunung Tambora 1815 yang menginspirasi Frankenstein. Kita hidup dengan imajinasi kehancuran kolektif sejak lahir. Modernitas apalagi yang dibutuhkan? Sedangkan Toby Ord dengan taksonomi risiko yang abstrak, apakah dapat mengerti dengan risiko konkrit harian yang dihadapi oleh orang-orang Indonesia? Abrasi pantai. Letusan vulkanik. Tsunami. Megathrust. Kapitalisme ekstraktif yang sama mematikannya. Bagaimana menerjemahkan estimasi model 1-in-6 Toby Ord pada bahasa prioritas mitigasi bencana lokal, ketika bagi 20% orang di bawah garis kemiskinan di Indonesia, risiko 1% katastrofi saja sudah eksistensial. Dengan posisi Indonesia sebagai supermarket bencana, kita seharusnya tahu persis bagaimana mengelola risiko multidimensi. Persoalan kepunahan adalah persoalan yang dekat. Pada banyak peninggalan seperti dalam candi, prasasti maupun kitab-kitab kuno kita bisa membaca bagaimana banyak peradaban musnah, di sini bahkan ada satu spesies Homo yang punah, Homo Floresiensis. Namun kita juga dapat melihat dari puing-puing peradaban yang tertutup abu vulkanik, ekonomi pesisir yang morat-marit akibat abrasi, selalu ada harapan untuk terus membangun kembali paska katastrofi. Ketangguhan ini terekam dalam pengetahuan dan imajinasi lokal, pekerjaan rumahnya adalah membangun hal tersebut menjadi sebuah perkakas siap pakai di hadapan wacana risiko eksistensial global.

Perspektif kita yang hidup di tepian jurang kepunahan sejak lama menjadi penting. Misalnya apakah kita bisa mengasah kembali kepekaan pada konsep gotong royong agar menjadi sebuah logika kolektif untuk menandingi konsep individual survival. Mungkin gotong royong juga bukan hanya diartikan sebagai kerja bersama, tapi logika untuk membangun sistem peringatan dini berbasis komunitas yang terdesentralisasi, dimana nelayan di Larantuka dan petani di Garut jadi sensor hidup bagi sistem prediksi kita. Banjar-banjar di Bali ataupun komunitas santri di pesantren-pesantren bisa diajak berembuk mengenai konsep institusi longtermist yang hidup. Jika diperlukan kita arusutamakan model transfer pengetahuan antar generasi dari institusi-institusi tersebut yang terbukti telah berhasil. Pada saat yang bersamaan kita juga harus memastikan bahwa kecemasan existential risk yang datang dari kelompok-kelompok think tank “barat” tidak menjadi pemagaran epistemik yang membatasi legitimasi ketakutan kita sendiri. Wacana existential risk global harus terbuka pada perspektif global. Thomas Moynihan dan Toby Ord menulis kedua bukunya dari Oxford, tapi eksistensi kita di Jakarta dan seluruh kepulauan Indonesia tidak perlu izin dari mereka untuk valid. Jika tidak, risiko terbesar bukan dari AI atau nuklir melainkan kolonialisme epistemik, ketika cara kita takut pun harus mengikuti template “barat”.