Retrospektif: Modernitas di Indonesia kolonial

Jika kita menilik sejarah Eropa, modernitas hadir dan dibangun di atas puing-puing feodalisme. Dengan semangat renaissance, percepatan pada proses teknologisasi, perkembangan sains dan politik sekuler, menghantarkan Eropa modern menuju pada tahap industrialisasi yang mencapai puncaknya pada abad 19. Pada periodesasi sejarah Eropa, yang tradisional (direpresentasikan oleh feodalisme) dan yang modern (birokrasi dan teknologi) dapat dipahami sebagai sebuah gerak laju historis yang linear. Eropa yang modern juga membawa dampak pada ekspansi kolonial. Melalui kolonialisme, Eropa mulai menjangkau wilayah-wilayah nun jauh dengan imajinasi untuk membawa pencerahan bagi kelompok manusia di luar Eropa. Modernitas memang rasanya memiliki paradoks internalnya, di satu sisi dia membawa ide tentang kemajuan dan rasionalitas sedangkan di sisi lain, realitasnya membawa kesengsaraan dan menghidupkan impuls destruktif.

Indonesia yang pada abad 19 masih bernama Hindia Belanda merupakan tanah jajahan yang juga turut terpapar pada ide-ide modernitas Eropa. Meskipun modernitas beriring jalan dengan apa yang tradisional. Yang modern dan yang tradisional bukan merupakan sebuah alur linear namun saling mengisi, berbenturan dan terjalin dengan aneh satu sama lain. Ini tentu terjadi karena kekuatan kolonial Belanda sangat bergantung pada institusi-institusi tradisi untuk memudahkan jalan pendudukannya. Tanpa mengawetkan apa yang tradisional di wilayah Indonesia, pendudukan Belanda akan sulit untuk bercokol terlalu lama. Selain itu modernitas yang dibawa melalui instrumen teknologi dan sains hanya diperuntukan untuk konsumsi terbatas masyarakat yang ada di puncak strata sosial. Teknologi dan sains itu juga tunduk pada fungsinya untuk membentuk ide tentang kolonialisme yang layak (decent colonialism).

Jalan raya sebagai medium

Meskipun semangat global dan kosmopolit yang merupakan ciri modernitas di nusantara dapat dilacak hingga sejauh abad ke 16 melalui perkembangan transportasi laut dan masuknya agama Islam namun perkembangan teknologi yang disertai dengan birokrasi dan ilmu pengetahuan ala “barat” dibawa oleh kolonialisme Belanda. Meskipun jumlah penduduk Belanda tetaplah minoritas selama masa pendudukan Hindia Belanda, pada abad 19 misalnya penduduk Belanda hanya 0,34% dari populasi atau pada perkiraan paling tinggi hanya sekitar 208,000 orang, tetap menjadi agen yang sangat berpengaruh dalam memperluas lanskap teknologi dan modernitas dengan dibukanya telegram yang dilanjut dengan jalur telepon di Jawa, jalur-jalur kereta api, jalan-jalan raya dan kota-kota.  

Rudolf Mrazek dalam bukunya The Engineers of Happy Land memberi perhatian khusus pada perkembangan teknologi di Indonesia masa kolonial berikut dampak gelap turutannya dalam transformasi sosio kultural. Kita bisa mencermati bagaimana pembangunan jalan-jalan raya dan kota-kota sebagai medium penghubung antara modernitas yang dibayangkan para penjajah dan realitas keseharian rakyat jajahan. Perkembangan teknologi dan modernitas yang dibawa tentu menyisakan lubang menganga yang memisahkan orang-orang yang memiliki kuasa dan yang tidak. Sebuah imaji dimana dua jagad dari perkembangan teknologi berpadu dalam ruang yang sama. 

Pada tahun 1913 di Hindia Belanda terbit sebuah majalah bernama magneet, majalah tersebut dimiliki oleh Motor-Wielrijders Bond, persatuan pengendara sepeda motor. Magneet mungkin adalah majalah pertama yang membahas khusus kehidupan di jalanan modern. Dalam salah satu edisinya, H.F Tillema, seorang Belanda yang datang ke Hindia Belanda di penghujung abad ke 19 dan pemilik apotik terbesar di Semarang menulis perenungan-perenungannya mengenai dampak jalan raya bagi Kesehatan masyarakat di sekitarnya:

“Orang-orang pasar yang datang dari dekat dan jauh seringkali mereka membuang hajat di jalan terkadang tepat di tengah-tengahnya. Kendaraan bermotor modern, gerobak yang ditarik binatang, bis dan truk melindas tinja manusia, kuda dan kerbau dan membuatnya menjadi debu. Debu itu terbang dari tanah, menuju ke segala tempat, dan debu itu tertiup masuk jendela-jendela yang terbuka terutama ke rumah-rumah dekat jalan modern itu. Ketika debu itu naik karena sepeda, mobil dan gerobak orang dapat terinfeksi wabah, kolera, tifus dan sebagainya.” (Mrazek 2002, 36)

Jalan-jalan raya di Hindia Belanda memang selalu dianggap problematik. Tahun 1923 terbit sebuah esai di majalah bergengsi dan ilmiah di Hindia Belanda, Koloniale Studien, yang ditulis oleh seorang bernama JM. Sloos. Dia menulis bahwa dampak paling signifikan dari kekacauan ekonomi yang diakibatkan oleh Perang Dunia I di Hindia Belanda adalah persaingan antara kereta api dan mobil. Sebelum Perang Dunia I, kereta api memonopoli moda transportasi masyarakat. Hampir mustahil efektifitas dan kenyamanan kereta api dikalahkan oleh gerobak-gerobak yang didorong oleh hewan. Sedangkan kendaraan bermotor hanya diperuntukkan bagi moda transportasi mewah. Setelah Perang Dunia I pembangunan jalan-jalan kereta api banyak yang terhambat belum lagi pada tahun 1920-an banyak pemogokan dari buruh-buruh kereta api, maka mulai muncul apa yang disebut dengan “truk-truk pribumi”. Kondisi dari truk-truk pribumi ini menurut JM. Sloos sangatlah mengkhawatirkan dengan ban-ban yang menyedihkan dan kelebihan muatan yang umum terjadi karena banyak warga pribumi yang memanfaatkan transportasi yang murah ini. Truk-truk tersebut biasanya diperbaiki dengan tambal sulam dari tangan ke tangan dan dirancang hanya untuk memenuhi fungsi primernya yaitu bisa melaju. Teknik yang sangat vernakular.

Lembaga yang terkait dengan persoalan transportasi di Hindia Belanda entah diilhami dari ketidakpedulian atau tidak terlalu memahami persoalan mengenai gerak laju dari masyarakat pribumi sehingga celah tersebut banyak dimanfaatkan oleh para spekulan pribumi untuk menghadirkan transportasi murah yang lantas memenuhi jalan-jalan raya dan lanskap modern di koloni.

Kota dan bangunan imajinasi modernitas

Dalam sebuah artikel yang begitu modern dan teknis yang ditulis pada tahun 1919, oleh orang Indonesia pertama yang mendapatkan pendidikan arsitektur di Belanda, yaitu Ir.Noto Diningrat, memaparkan kecendrungan dari orang pribumi yang modern dan merupakan warga kelas atas menduplikasi bentuk-bentuk bangunan rumah dari para penakluknya. Bentuk-bentuk rumah tersebut menurut Ir. Noto Diningrat menanggalkan ruang-ruang batiniah yang terdapat dalam desain bangunan rumah tradisional. Karena itu penduduk pribumi ditarik untuk lebih sering keluar dari rumahnya dan kemudian berhadapan dengan sangat canggung dengan para penakluk Eropanya. Pertemuan canggung antara para pribumi dan penduduk Eropa dapat dimaknai dengan pertemuan pada realitas yang temporer-karena banyak dari para penduduk Eropa tersebut yang memang tidak menganggap Hindia Belanda merupakan rumah permanen mereka-sehingga kota-kota di Hindia Belanda lebih menyerupai sebagai sebuah hotel besar yang pada tiap kesempatan harus bersiap menerima tamu-tamu yang baru saja selesai membongkar kopernya. Begitupun sebaliknya, para warga Eropa menumbuhkan rasa tidak aman di dalam diri ketika jarak ruang hidupnya semakin dekat dengan penduduk pribumi.

Urbanisasi di Hindia Belanda terjadi secara perlahan di masa kolonial Hindia Belanda. Awalnya Belanda hanya mendirikan banyak kota-kota benteng di pesisir pantai yang tidak banyak mempengaruhi struktur kota prakolonial. Baru pada abad ke 19 setelah berakhirnya masa pemerintahan singkat Inggris, Pemerintah kolonial mulai membangun kota-kota yang menandai usaha eksploitasi yang lebih sistematis. Kota dibangun sebagai poros dalam produksi dan distribusi hasil pertanian selain juga menjadi pusat pemerintahan. Letaknya hampir semua berada pada jalur perhubungan yang utama, di Jawa misalnya kota kebanyakan dilalui oleh Jalan Raya Pos (Jalan Daendels). Dan semua pusat produksi mempunyai stasiun kereta api. Struktur kota-kota Hindia Belanda baru ini biasanya memisahkan pemukiman berdasarkan etnisitas: Pemukiman Belanda, Tionghoa, Arab dan pribumi. Selain itu terjadi juga proses Eropanisasi pada perencanaan kota apalagi juga setelah kehadiran para wanita Eropa yang semakin intens yang ingin mempertahankan gaya hidupnya di Eropa. Eropanisasi ini banyak mengabaikan iklim tropis dalam pembangunannya. Karena itu kota-kota seringkali mengalami persoalan lingkungan yang kronis. Misalnya saja persoalan air yang mempengaruhi kehidupan di Hindia Belanda dengan amat dalam. Pada umumnya di bagian pemukiman bagi orang Belanda dan Eropa terdapat saluran pembuangan kotoran yang baik dan air-air jernih yang mengalir di keran-keran namun pada bagian pemukiman bagi penduduk pribumi yang biasanya terdapat di kampung-kampung yang penuh dengan gubug-gubug beralas tanah tanpa tempat mencuci, kamar mandi dan WC, sebuah pemandangan yang kontradiktif. Persoalan pengaturan air menjadi masalah di setiap musim di kota-kota Hindia Belanda. Ketika musim penghujan ancaman banjir menghantui sedangkan pada musim kemarau hantu wabah penyakit yang dibawa oleh kutu dan tikus yang tumbuh subur pada genangan-genangan air dan tempat pembuangan kotoran bergantian hadir. Orang-orang tetap banyak mati pada kota-kota modern Hindia Belanda.

Pun begitu bukan berarti tidak ada usaha dari pihak berwenang untuk memperbaiki permasalahan kota di Hindia Belanda terutama setelah terbitnya peraturan tentang desentralisasi di tahun 1903. Namun usaha tersebut membutuhkan waktu cukup lama dan baru mulai diimplementasikan secara teratur setelah tahun 1930. Melalui salah satu perancang kota ternama Thomas Karsten usaha-usaha perbaikan dan penataan yang rasional dilakukan, meskipun tidak sepenuhnya terwujud karena terbentur oleh waktu dimana akhirnya penguasaan kolonial Belanda atas surga di timur jauh terpaksa berakhir ketika Perang Dunia II berkecamuk. Thomas Karsten rasanya adalah orang pertama di Hindia Belanda yang menggunakan pendekatan penataan kota dengan studi-studi saintifik yang ketat. Karya besarnya pada tahun 1920 yaitu Ïndiese Stedebow (Pembangunan Kota di Hindia) yang kemudian diadopsi dan menjadi dasar dalam Stadvorming Ordonantie 1938 (Peraturan Pembentukan Kota 1938) menggabungkan analisa kritis yang positifistik ke dalam konteks Hindia Belanda. Karsten mencoba memetakan permasalahan dan melakukan strukturasi pengetahuan urban di Hindia Belanda. Setidaknya ada dua hal yang menjadi persoalan kota-kota di Hindia Belanda yaitu persoalan iklim-yang sebelumnya banyak dihiraukan-sehingga desain bangunan khas Eropa tidak bisa diterapkan secara penuh dan kedua adalah karakternya yang kolonial, yang diakibatkan oleh perbedaan besar pada kemampuan ekonomi dan kebutuhan masing-masing penduduk dari berbagai lapisan. Sayangnya tidak semua cita-cita dan mimpinya akan kota kolonial di Hindia Belanda bisa terwujud, sebagian harus terkubur bersama jasadnya tahun 1945 di tanah koloni jauh dari tempat kelahirannya.

Aborsi Modernitas

Indonesia setelah 75 tahun kemerdekaannya sesungguhnya tidak pernah mencerap modernitas seutuhnya. Tulisan ini sebenarnya ingin memperlihatkan bagaimana modernitas hanya dialami sebagai fragmen-fragmen yang tercecer sejak masa kolonial dan sempat mengalami kepadatan di era Orde Baru melalui industrialisasi (soal ini membutuhkan penyelidikan yang lain). Modernitas telah lewat, skeptisisme pasca-modern pada narasi besar modernitas kadung tumbuh merebak dimana-mana. Pasca-modern menghadirkan suatu lanskap dan jalinan realitas yang baru melalui digitalisasi. Namun hari ini kita masih sering mendengar narasi modernitas yang diproduksi lalu ditolak. Pertama dia selalu didengungkan sebagai sesuatu yang buruk karena dianggap sebagai sebuah ide yang dijejalkan oleh peradaban “barat”. Kedua, modernitas seringkali dipakai sebagai kedok oleh para spekulan untuk memperluas sirkuit kapital. Hari ini dimana kita menemui suatu entitas yang menyematkan kata “modern” maka pemaknaan peyoratifnya adalah sebagai sesuatu yang mewah dan mahal. Sebagai penutup, rasanya penting bagi saya untuk mengutip perenungan Bambang Sugiharto dalam bukunya Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi:

“Bila kita menggunakan kerangka paradigmatik yang paling umum, kita bisa memandang kerancuan budaya yang dialami bangsa ini sebagai kerancuan antara paradigma lisan ‘Pra-modern’, literasi ‘Modern’ dan visual-digital ‘Post-modern’. (Sugiharto 20019, 134)

“Ketika kita masih mengelola perilaku berdasarkan perasaan, gossip, kesan tampilan dan persepsi multidimensi-yang khas budaya lisan pra-modern-sembari mulai belajar menggunakan pikiran rasional, membaca tulisan dan melihat inti persoalan secara diskursif berdimensi linear tunggal khas paradigma literasi verbal modern, pada saat yang sama kita sudah dikepung dan direcoki pola persepsi baru budaya tontonan visual postmodern yang non-verbal, yang justru menteror rasionalitas diskursif, mengutamakan hasrat emosional, dan mengembalikan perilaku kita pada kendali perasaan, gosip dan kesan tampilan”. (Sugiharto 2019, 135).

Kita belum lah lagi selesai memaknai modernitas namun sudah terpaksa untuk-dalam bahasa Bambang Sugiharto-mengaborsinya.

Referensi

Bambang Sugiharto, Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2019)

Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land (New Jersey: Princeton University Press, 2002)