Agraris, manufaktur, teknologi komputer, lalu sekarang jaringan digital. Apa yang kita pelajari dari pergantian dalam tren ekonomi ini? Bahwa umat manusia kian maju? Benarkah masyarakat dunia makin sejahtera?
Nick Srnicek dalam buku Platform Capitalism yang terbit tahun 2017 menulis bahwa pergantian industri hanyalah sarana menggerakkan modal dari bangunan ekonomi yang mulai runtuh ke bangunan ekonomi lain yang potensial. Pergantian teknologi dibutuhkan dalam skema kapitalisme untuk membuatnya terus berkembang menuju akumulasi-akumulasi baru (hal. 14). Namun dalam perpindahan itu, kapital tak pernah benar-benar berpindah tangan, apalagi terdistribusi merata.
Setelah berakhirnya Perang Dunia 2, Industrialisasi berlangsung besar-besaran di seluruh dunia, dalam skala yang melebihi Revolusi Industri di Eropa. Kolonialisme membawa pertukaran pengetahuan dan teknologi ke negara-negara yang masih mengandalkan sektor agraris. Mereka yang tak lagi punya akses atas lahan akhirnya berbondong-bondong menuju kantor dan pabrik dimana mesin-mesin produksi berada.
Dalam industri, tenaga kerja dengan pekerjaan spesifik yang sama dikumpulkan ke dalam ruang-ruang terpisah untuk melakukan pekerjaan yang sama terus-menerus. Bahkan para pekerja dikelompokkan dalam satu wadah perusahaan yang secara legal terpisah dari perusahaan induk demi efisiensi dan fleksibilitas produksi, juga sebagai ekor yang mudah dipotong jika suatu saat perusahaan perlu berhemat. Hasilnya adalah peningkatan kecepatan produksi yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas, sekaligus mengurangi risiko produksi. Pekerja sepenuhnya bergantung pada relasi vertikal dengan pemilik modal, tanpa memiliki akses dalam pengambilan keputusan, apalagi kapital.
Relasi vertikal tersebut memposisikan pekerja sebagai pihak yang disposable atau bisa diganti ketika ada peluang lain untuk meningkatkan efisiensi. Sebelumnya pekerja di level produksi terancam kehilangan pekerjaan dengan berkembangnya otomasi melalui teknologi komputer dan penggunaan mesin produksi. Kini dengan kehadiran internet, giliran rantai panjang distribusi ikut dipangkas. Platform marketplace dalam industri digital digandrungi begitu banyak orang karena menawarkan kemudahan transaksi langsung penjual dan pembeli, bahkan produsen dan end customer tanpa perantara. “Cutting the middle man” selalu menjadi value proposition bagi setiap perusahaan digital yang belakangan bermunculan bak jamur di musim hujan.
Dari sudut pandang kapital, hal tersebut adalah peluang besar untuk sumber akumulasi baru. Persaingan memang semakin ketat, namun ada komoditas baru yang bisa dimonetisasi: data. Produk barang dan jasa tidak lagi jadi primadona. Biarkan para pemain industri lama yang menguasai produksi barang dan jasa. Industri digital fokus pada menggoyang (disrupsi) pakem-pakem dalam ekonomi sebelumnya demi akumulasi data sebagai bentuk kapital baru.
Perusahaan-perusahaan digital memilih menguasai interface atau hilir dimana pembeli atau pengguna berkumpul dan transaksi paling besar terjadi. Cukup menguasai interface berupa lean platform yang menjadi tempat interaksi kelompok-kelompok produksi, distribusi, konsumer, pengiklan, pemasok, dan lain-lain tanpa memegang kepemilikan atas kelompok dan infrastrukturnya (Koh, 2017). Bahkan pekerja dalam jumlah banyak pun tidak perlu dimiliki. Sharing economy jadi tren populer di tahun-tahun belakangan ini.
Lalu bagaimana nasib pekerja?
Industri manufaktur, meski mengandalkan relasi vertikal antara pekerja dan pengambil keputusan, mampu menyerap banyak tenaga kerja dalam satu atap yang sama. Industri manufaktur di Amerika Serikat menyerap pekerja empat kali lebih banyak daripada industri digital, yang sebenarnya masih jadi bagian kecil dari ekonomi. Inggris juga mencatat jumlah pekerja manufaktur tiga kali lebih banyak daripada pekerja perusahaan digital (Srnicek, 2017).
Meski dengan jumlah pekerja dan aset lebih sedikit, valuasi atau nilai jual perusahaan digital bisa jauh lebih besar daripada perusahaan yang memiliki aset full stack (manufaktur, R&D, jaringan distribusi, pemasaran, dan lain-lain). Dalam ekonomi digital sistem yang diberlakukan lebih efisien dan ramping (lean) dengan sharing economy, yaitu memanfaatkan sumber daya bersama (crowdsource) untuk menggerakkan bisnis. Dua sampai tiga dekade ke belakang, kita melihat banyak sekali perusahaan-perusahaan baru yang sekup kerjanya sangat spesifik, yang sebelumnya biasanya masuk jadi bagian perusahaan yang sama.
Ruang-ruang fisik yang tadinya mengumpulkan dan sekaligus memisahkan kelompok pekerja satu dengan yang lain tidak menghilang. Ruang-ruang tersebut berpindah ke ruang-ruang digital. Diperkirakan tahun 2017 sekitar 70 juta pekerja terdaftar dalam platform pekerja daring di seluruh dunia (Heeks, 2017 dalam Wood, 2019). Perusahaan sendiri tidak perlu terikat dengan para pekerja di luar perjanjian kontrak jangka pendek. Terbuka relasi-relasi baru antara pemilik modal dan pekerja yang berjalan bebas tanpa regulasi khusus. Hal ini membuka peluang bagi siapapun untuk masuk ke dalam sistem. Penggunaan platform pekerja daring, baik sebagai pemberi kerja maupun tenaga kerja, meningkat sekitar 26% setiap tahunnya (Kassi dan Lehdonvirta, 2016). Agar tetap punya pendapatan, pekerja-pekerja lepas harus terus berpindah dari kontrak pekerjaan jangka pendek ke kontrak berjangka pendek lainnya. Ketidakpastian kerja tetap menjadi sumber kecemasan yang sama (Los Angeles: Marketplace, 2018).
Menariknya, ketidakpastian yang tercipta ini justru menciptakan peluang lain yang berbeda. Misalnya, perusahaan transportasi daring yang populer dielu-elukan sebagai solusi mobilitas masyarakat kota. Sebenarnya mereka hanya mengambil peluang dari adanya ketidakpastian kerja di bidang transportasi dari pekerja-pekerja lepas dan infrastruktur yang lebih dulu ada. Mereka juga tidak bisa disebut sebagai penyedia jasa transportasi karena selain tidak menyediakan alat transportasi, pengendara dalam jejaring mereka pun tidak dianggap sebagai karyawan, melainkan “mitra”. Karenanya perusahaan tidak bisa sepenuhnya sepenuhnya dituntut untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan mitra mereka. Ketika hambatan bisnis muncul, misalnya seperti pandemi yang berlangsung saat ini, perusahaan dengan mudah dapat menghentikan kontrak kerja tanpa kompensasi berarti (lihat artikel Tirto.id).
Ada pekerjaan baru yang tercipta, namun dengan ketidakpastian yang sama. Apakah perkembangan teknologi memang tidak bisa mengubah arah pergerakan modal dan distribusi ekonomi?
Ekonomi gig sebenarnya memberi kesempatan untuk liberasi atau pembebasan pekerja dari relasi-relasi eksploitatif oleh penguasa kapital. Trebor Scholz dalam bukunya, Uberworked and Underpaid yang terbit tahun 2016 menggambarkan sharing economy dan gig economy sebagai pertanda dari post-work society (masyarakat pascakerja) dimana teknologi berperan menggantikan kerja sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun pada praktek yang saat ini berjalan, disrupsi teknologi menjadi ancaman bagi hilangnya sebagian besar pekerjaan. Selain itu juga meningkatkan ketidakpastian atas akses pendapatan. Angka produksi dan keuntungan pun naik, tapi akumulasinya tetap tidak terbagi lebih merata. Relasi vertikal antara pekerja dan pemilik modal tetap, bahkan lebih cair. Apa gunanya pekerjaan digantikan mesin jika sumber pendapatan juga menghilang?
Keadaan yang sekarang seolah menjadi pakem industri adalah hasil dari industri lama yang mengutamakan keuntungan (profit) daripada kesejahteraan pekerja dan masyarakat. Upah pekerja pun masuk ke komponen biaya produksi (cost) yang rentan ditekan ketika harus meningkatkan pendapatan (revenue). Pergantian, bahkan penomoran industri semacam 4.0 seolah menegaskan bahwa industri yang berkembang saat ini hanyalah generasi berikutnya dari industri lama. Karena itu pula ia punya DNA yang sama meski wujudnya berbeda. Padahal teknologi digital dapat diperlakukan sebagai entitas yang benar-benar lain.
Louis Hyman menulis di The New York Times sebuah pernyataan yang sekaligus menjadi judul artikelnya, It’s Not Technology That’s Disrupting Our Jobs. Teknologi hanyalah alat yang netral. Penggunanya yang memutuskan seperti apa tatanan dunia yang akan dibuat menggunakan teknologi tersebut. Industrialisasi juga sebetulnya pernah menjadi langkah sukses dalam mendistribusikan pendapatan kepada masyarakat pasca Perang Dunia dan membuat roda ekonomi global tetap berjalan. Hanya saja regulasi yang ditetapkan setelahnya tidak lagi melihat kesuksesan itu sebagai substansi dari industri, melainkan peluang untuk akumulasi keuntungan.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana supaya perkembangan teknologi digital yang berpotensi mendorong liberasi pekerja dari eksploitasi korporat di saat yang sama juga mampu meningkatkan meratanya distribusi kesejahteraan? Jangan-jangan yang berubah dalam ekonomi hanya kulitnya. Dalamnya masih berisi cerita ketimpangan yang itu-itu saja.
(Artikel ini ditulis sebagai ulasan dari kelas daring Platform Co-op Now! Yang diselenggarakan oleh The New School, Mondragon Team Academy, dan Global Youth pada bulan Juni-Juli 2020. Saya menjadi peserta kelas ini melalui pendanaan dari Koperasi Tahan Pangan (Instagram @tahanpangan.id), sebuah usaha kolektif di bidang pangan yang dikelola dengan sistem koperasi.