“There are those exploding worlds on the horizon” – Pierre Teilhard de Chardin
Sebagai seseorang yang tinggal di negara tempat dimana dua sumber ledakan volkanik raksasa yang memengaruhi nasib seluruh Homo Sapiens terjadi; Toba dan Tambora. Saya banyak merenung mengenai kepunahan, makna dan waktu yang kita miliki dalam menghidupi bumi. Konon ledakan Toba 74,000 tahun yang lalu membuat Homo Sapiens tersisa hanya kurang dari 3,000. Ledakan Tambora pada tahun 1816, meski dayanya jauh lebih rendah dari ledakan volkanik Toba, namun memiliki pengaruh yang dalam secara kultural. Pada tahun itulah pembicaraan mengenai kepunahan manusia bermekaran di Eropa. Lord Byron dan Mary Shelley yang saat itu berada di Jenewa terinspirasi untuk membuat karya-karya terbaik mereka. Lord Byron dengan puisi Darkness dan Mary Shelley dengan novel Frankenstein.
Pada permenungan tersebut geophilosophy memiliki posisi epistemologi yang penting. Dengan bergulat pada lanskap alam di sekitar, kita dapat memberikan pemaknaan penting mengenai waktu. Seperti misalnya yang disediakan oleh wilayah pesisir Kebumen di Jawa Tengah dimana bentangan alamnya memperlihatkan dengan gamblang bahwa pulau yang kita tinggali pada suatu masa yang jauh telah berlalu ada di dasar samudera maupun pada pengalaman Siccar Point, di Inggris Raya, di mana James Hutton merumuskan teori unconformity. Keduanya memiliki persentuhan dengan waktu yang dalam (deep time).
Melalui proyek kolaboratif Then Again bersama Jeremy Knowles, kami mencoba untuk mempertukarkan perspektíf dengan bagasi kultural kami masing-masing dalam menggali makna mengenai deep time dan bagaimana tempat kita secara eksistensial di hadapan ancaman kerusakan ekologis hari ini. Mungkin juga kami tidak dapat memahaminya secara utuh melalui usaha ini, atau bisa. Semoga!