Sulit untuk berbicara mengenai film horor Indonesia dekade 80an tanpa menyertakan H. Tjut Djalil di dalamnya. Hari ini, berkat upaya distribusi dari entitas seperti Mondo Macabro atau MUBI, beberapa film yang digarapnya menyentuh pasar yang lebih luas dan direspon positif oleh banyak penggemar film horor dunia, beberapa filmnya bahkan berada dalam daftar film terseram Indonesia di dekade tersebut. Keberhasilan Tjut Djalil dalam meramu dan mengeksplorasi eksotisme tradisi dan cerita rakyat lalu mengkombinasikannya dengan cita rasa internasional terasa unik dan memberi warna tersendiri. H Tjut Djalil seringkali menggunakan percampuran antara pemain lokal dan asing sebagai pemeran dari film-filmnya, meskipun pemain asing yang diajaknya seringkali bukanlah aktor atau aktris profesional.
Film horor pertama yang digarap oleh Tjut Djalil adalah Mistik (Punahnya Rahasia Ilmu Iblis Leak) (1981) atau judul internasionalnya Mystics in Bali. Sebelum menggarap film ini ia telah memiliki pengalaman puluhan tahun sebagai penata skrip maupun sutradara. Film ini bercerita mengenai seorang perempuan bernama Catherine Kean atau Cathy (Ilona Agathe Bastian) seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada dari Australia yang sedang berlibur di Bali namun tertarik ingin meneliti dan menulis buku mengenai ilmu hitam. Dalam sebuah pesta Cathy dikenalkan dengan Mahendra (Yos Santo), mereka kemudian menjalin kedekatan dan akhirnya menjadi sepasang kekasih. Cathy lantas mengungkapkan kepada Mahendra keinginannya untuk mempelajari mengenai Leak Bali sebagai bahan untuk menulis bukunya, ia mengungkapkan kalau sebelumnya ia juga sudah pernah mempelajari mengenai vodoo. Mahendra yang merupakan orang lokal Bali berhasil melakukan kontak dengan salah satu praktisi Leak dan mempertemukan mereka di Mertasari Sanur. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Sanur memang tempat yang cukup mistis di Bali.
Dengan sejumlah prasyarat Mahendra dan Cathy akhirnya berhasil menemui praktisi Leak yang berasal dari aliran Leak Ngakak, dengan ciri aksinya yang diawali dengan tawa terbahak-bahak dan membuat orang yang mendengarnya mati ketakutan. Setelah pertemuan perdana Ratu Leak Ngakak sepakat untuk mengangkat Cathy menjadi muridnya. Setelah itu film selalu berpindah adegan antara siang hari dimana Mahendra dan Cathy berinteraksi dan menjalin relasi cintanya yang kikuk namun cukup mewakili kegugupan interaksi antara penduduk lokal dan turis asing, serta pada malam hari ketika Cathy belajar ilmu Leak. Dalam beberapa pertemuan yang singkat saja Cathy sudah berhasil menguasai ilmu untuk menjadi Leak, tidak hanya itu dia juga dapat berubah menjadi ular dan babi dan sampai dipercaya untuk mendampingi gurunya sang Ratu Leak Ngakak untuk bertempur dalam bentuk bola api dengan penguasa ilmu hitam yang lain. Ratu Leak Ngakak yang ingin menyempurnakan ilmunya untuk menjadi Leak paling sakti di dunia lantas memperalat dan menggunakan Cathy untuk mencari mangsa. Sedangkan Mahendra yang melihat banyak perubahan pada Cathy, seperti pada saat ia memuntahkan tikus karena tanpa sadar menyantapnya saat ia menjelma jadi ular, lalu mencoba berkonsultasi kepada pamannya (yang ternyata memiliki ilmu dan kemampuan dalam menghadapi ilmu hitam) dalam upaya untuk menyelamatkan Cathy.
Setelah ada dua korban hasil kejahatan dari Ratu Leak Ngakak dan Cathy. Mahendra dan pamannya I Wayan Jereg mulai beraksi. Adegan-adegan berikutnya dipenuhi aksi perkelahian dengan penuh spesial efek laser antara sang Ratu Leak Ngakak dengan Mahendra, I Wayan Jereg dan Putu Oka (paman Mahendra lain yang entah darimana datangnya dan tampak lebih sakti dari I Wayan Jereg yang mesti mengakui keunggulan Ratu Leak Ngakak dan akhirnya tewas).
Alur film Mistik memang harus diakui lambat dengan banyak percakapan yang sebenarnya cukup menarik. Film ini memakan waktu hampir 2 jam. Meskipun dengan banyak lubang pada plot yang kentara. Misalnya mengapa Mahendra langsung mengenalkan Cathy kepada Ratu Leak Ngakak dibanding kepada paman-pamannya yang belakangan kita ketahui cukup sakti dan sangat mengerti soal ilmu hitam. Juga pertanyaan besar tentang buku seperti apa yang sebenarnya Cathy ingin tulis sampai dia sendiri harus belajar untuk menjadi Leak? Penelitian yang dilakukannya sangat cacat metodologi dan penilaian keamanan di lapangan risetnya. Lubang-lubang pada plot seperti ini selalu bisa kita lihat pada film-film H. Tjut Djalil yang lainnya seperti dalam Lady Terminator (1989).
*
“Will you stop calling me lady, I’m not a lady! I’m an Anthropologist!” – Tania, Lady Terminator (1988)
Lady Terminator adalah judul internasional dari film Pembalasan Ratu Pantai Selatan (1988). Dalam versi internasionalnya ini H. Tjut Djalil menggunakan moniker Jalil Jackson. Setelah rilis di Indonesia tahun 1988 film ini hanya sempat mengisi bioskop dalam waktu yang singkat sebelum akhirnya dilarang karena dianggap terlalu banyak adegan kekerasan, di tahun berikutnya film ini dirilis di Amerika Serikat. Film ini merupakan bentuk penyelewengan (mockbuster) dari film Terminator (James Cameron, 1984). Kombinasi antara peniruan yang kasar dari alur dan latar film Terminator dan mitos lokal mengenai Ratu Pantai Selatan atau biasa kita kenal dengan nama Nyi Roro Kidul.
Filmnya bercerita mengenai seorang antropolog dari Amerika bernama Tania (Barbara Anne Constable) yang sedang meneliti mengenai legenda Ratu Pantai Selatan. Film ini adalah film horor erotis, dengan adegan pembuka permainan ranjang antara Sang Ratu Pantai Selatan (Yurike Prastica) dengan seorang lelaki yang lantas terbunuh oleh pusaka Sang Ratu Pantai Selatan yang bersemayam dalam vaginanya dengan perwujudan seekor belut. Adegan pembuka tersebut diceritakan terjadi 100 tahun sebelum Tania datang ke Indonesia dan melakukan penelitiannya. Ratu Pantai Selatan dipoposikan sebagai seorang ratu yang merayu banyak lelaki untuk berhubungan badan dan para lelaki itu akan berakhir menjadi tumbal untuk pusakanya. Sampai pada suatu hari sang Ratu Pantai Selatan bertemu dengan seorang lelaki asing bernama Ilyas yang memiliki ilmu tinggi sehingga dapat memperdaya sang ratu untuk akhirnya merebut pusaka yang keluar dari vaginanya tersebut, pusakanya lantas menjelma menjadi sebuah keris. Sejak saat itu Ratu Pantai Selatan berjanji akan membalaskan dendam pada keturunan Ilyas 100 tahun yang akan datang.
Seratus tahun kemudian Tania yang merupakan seorang antropolog melakukan penelitiannya mengenai Ratu Pantai Selatan di Indonesia. Tania bahkan melakukan penyelaman di laut untuk mencari tau keberadaan pusaka dari Ratu Pantai Selatan. Dalam adegan ini kita dapat melihat kembali formula yang sama yang digunakan oleh H. Tjut Djalil dalam film Mistik, yaitu seorang peneliti yang tampak begitu ceroboh dan tidak mempertimbangkan sisi keamanan dalam penelitian lapangnya. Misalnya Tania hanya menggunakan bikini dalam misi penyelamannya tanpa pakaian selam yang lengkap. Tidak jelas sebenarnya bagaimana Tania memproses informasi mengenai yang mistis dan gaib di dalam penelitiannya, yang jelas ia merasa mampu langsung terkoneksi dengan yang mistis dan gaib tersebut di laut selatan tanpa melalui bantuan mediator ataupun ritual. Misi penyelamannya berakhir dengan petaka, kapal yang ditumpanginya tersapu badai, sedangkan Tania tampak diseret ke kerajaan Ratu Pantai Selatan dan tiba-tiba terikat di sebuah ranjang dan dirasuki oleh belut pusaka yang masuk melalui kemaluannya. Sejak saat itu Tania berubah menjadi apa yang disebut oleh film itu sebagai Lady Terminator, ia tampaknya dimanfaatkan oleh Ratu Pantai Selatan untuk membalaskan dendamnya kepada keturunan Ilyas. Kita bisa melihat perbedaan orientasi waktu dalam menggali relevansi dengan penonton, jika dalam film Terminator, sang organisme siber (Arnold Swarscheneger) dikirim oleh Skynet dari masa depan dalam misi membunuh Ibu dari john Connor, seorang pemimpin perlawanan manusia di masa depan, dalam Lady Terminator penghubungnya adalah mitos dan dendam dari masa yang silam.
Selanjutnya Tania berlaku eksplosif meneror seisi kota dengan melakukan pembunuhan sporadik dimulai dari daerah pantai tempat ia muncul kembali sampai ke tengah kota dalam misinya untuk mencari Erica (Claudia Angelique Rademaker) yang merupakan seorang penyanyi yang sedang naik daun, Erica adalah keturunan Ilyas dan tampaknya menjadi ahli waris dari pusaka curian Ilyas. Sampai disini seluruh alur dan pengadegannya banyak meniru film Terminator, Erica diselamatkan oleh Max (Christoper J. Hart) yang merupakan seorang polisi dan terus melarikan diri dari buruan Tania. Adegan aksi kejar-kejaran dengan mobil di jalanan sampai dengan Erica dan Max yang lantas mencoba mengungsi mengamankan diri di kantor polisi, sebuah mimikri yang sempurna dari Terminator.
Ada beberapa hal yang sebenarnya menarik juga untuk menjadi catatan pinggir, yang pertama, dalam film Mistik dan Lady Terminator ini H. Tjut Djalil selalu menggambarkan peneliti-peneliti asing sebagai orang-orang rentan untuk dimanfaatkan oleh figur-figur lokal yang memiliki kekuatan supranatural. Baik Cathy dalam film Mistik maupun Tania di Lady Terminator. Keduanya tampak menjadi korban dari semacam keluguan dalam berhadapan dengan yang supranatural. Kedua, selama Tania menjelma sebagai Lady Terminator setidaknya ada 3 lelaki yang terbunuh karena godaan-godaan erotik Tania. Sebagai seorang perempuan putih asing, ia tampak dengan mudah menundukkan para pria lokal tanpa usaha yang berarti. Gambaran ini tampak melanggengkan sebuah stereotipe perempuan kulit putih sebagai sebuah simbol seksualitas yang paripurna yang selalu didambakan oleh para pria lokal.
Film Lady Terminator seperti juga film Mistik, memang menyisakan begitu banyak bolong pada plot terutama ketika menyambungkan dengan sisi elemen mistisnya. Dengan dialog yang tidak sebaik dialog-dialog yang dihadirkan dalam Mistik, namun tujuannya untuk menghadirkan sebuah hiburan, Lady Terminator masih sangat layak untuk ditonton. Film-film dari H. Tjut Djalil tampaknya penting untuk ditonton ulang dan mendapatkan pemaknaan yang baru di audiens Indonesia hari ini.