Skip to content

Lanskap Horor IV: Bayi Ajaib (1982)

Bayi Ajaib (Tindra Rengat, 1982) adalah sebuah jelmaan lokal Indonesia dari film The Omen (Richard Donner, 1976). Beberapa adegannya jelas-jelas hasil tiruan dari film tersebut, tidak lupa juga dengan tambahan sedikit bumbu politik. Meskipun dengan begitu menempatkan posisi Bayi Ajaib menjadi sedikit unik pada masa itu karena meletakkan antagonisme pada sosok seorang anak kecil lelaki, yang diluar kebiasaan tren horor dimana peran itu biasanya diletakkan pada sosok perempuan. Bayi Ajaib hadir dengan konteks pedesaan lengkap dengan persoalan potensi alam (tambang rakyat) dan politik tingkat kelurahan. Membuat film ini tampil dengan begitu bersahaja.

Cerita bermula dari sebuah persaingan antara dua orang penambang intan tradisional Dorman (W.D Mochtar) dan Kosim (Muni Cader). Keberhasilan Kosim dalam perebutan intan di sebuah sungai membuat Dorman iri hati dan mencoba untuk menjatuhkan Kosim, ini ia lakukan dengan cara meminta bantuan pada leluhur Portugisnya yaitu Alberto Dominique yang merupakan seorang penguasa bengis desa itu ratusan tahun yang lalu. Dengan menjalankan ritual di makam Alberto yang tampak sudah terbengkalai, Dorman merapal mantra-mantra, entah bantuan seperti apa yang diharapkan oleh Dorman dari leluhurnya tersebut. Satu hal yang pasti Dorman tampaknya ingin mengeksploitasi dendam kesumat Alberto pada penduduk desa tersebut yang telah mengeksekusinya dengan cara digantung.

Target utama yang tampaknya terlihat rapuh pada upaya pembalasan Dorman adalah Sumi (Rina Hasyim), istri Kosim yang pada saat itu sedang mengandung. Alberto yang telah dibangkitkan kembali oleh Dorman mendapatkan kesempatan pertama untuk menjalankan aksinya dari bawah kubur ketika istri Kosim melewati kompleks pemakaman Alberto sepulang dari memeriksakan kandungan pada seorang yang tampaknya merupakan dukun beranak desa tersebut yang bernama Kasima (Wolly Sutinah). Sumi terjatuh kedalam tanah kuburan setelah sebelumnya ditakuti oleh sekumpulan kelelawar dan anjing yang muncul secara acak, lalu tak sadarkan diri karena ketakutan berhadapan dengan Alberto yang menjelma dalam bentuk “tengkorak hidup”. Alberto kemudian melakukan gerak seperti memijat-mijat kandungan Sumi sehingga kandungan tersebut berpindah tempat ke punggung. Kosim yang khawatir karena istrinya tidak kunjung kembali meski sudah larut malam kemudian mencarinya keliling desa dibantu oleh warga termasuk tokoh kyai desa yang turut membantu seraya memanjatkan doa-doa.

Setelah beberapa saat pencarian, Kosim kemudian kembali ke rumah untuk kemudian dikagetkan karena menemukan Sumi telah kembali namun dalam kondisi yang aneh. Ia tampak lusuh dengan posisi kandungannya yang telah berubah di punggung dan kemudian berteriak-teriak histeris. Keadaan itu tidak berlangsung lama karena Kasima dan seorang pembantunya datang untuk menolong. Kasima dan pembantunya lantas mencoba mengembalikan posisi kandungan Sumi dan melakukan proses persalinan ala dukun beranak, karena Sumi telah mengalami pendarahan. Anak Sumi dan Kosim akhirnya berhasil terlahir secara prematur berbarengan dengan terjadinya gerhana bulan. Ketika terlahir sang bayi tampak masih diselimuti oleh plasenta. Kasima kemudian meminta kepada pembantunya untuk membawa bayi itu keluar dan dibersihkan, seketika bayi itu menggeliat keluar dari plasenta namun wajahnya  menampakkan wajah tua Alberto lalu terbang menyerang sang pembantu dan sontak menewaskannya. Sang bayi kemudian terbang menghilang. Kosim dan Kasima yang mendengar teriakan sang pembantu sebelum ia tewas lantas bergegas menuju sumber teriakan untuk menemukan pemandangan mengerikan sang pembantu dengan luka gigitan di leher. Kosim lantas mencari sang bayi dengan mengikuti jejak darah dan menemukannya sedang dalam keadaan menangis di atas makam Alberto.

Film kemudian maju bertahun-tahun kedepan, sang bayi yang kemudian dinamai Didi (Rizwy Ibrahim) telah menginjak usia kanak-kanak dan digambarkan sedang diarak warga desa untuk menjalani prosesi khitan. Karena Kosim merupakan salah satu warga yang tergolong kaya di desa tersebut maka prosesi khitan itu dirayakan dengan meriah. Meski lantas ketika proses khitan dimulai sang mantri sunat (Bokir) gagal melaksanakannya karena pisaunya justru bengkok dan tampak tidak mempan ketika digunakan untuk menyunat Didi. Kegagalan proses khitan itu menjadi semacam simbol bahwa Didi berada dalam pengaruh jahat yang menolak nilai-nilai agama, dalam kasus ini adalah Islam. Seperti kita tahu khitanan atau sunat adalah sebuah laku yang mendekati wajib bagi pemeluk agama Islam. Pada adegan selanjutnya Didi bahkan juga merasa terganggu dan berontak ketika mendengar suara adzan lantas lari ke kamarnya dan kemudian mengurung diri. Di lain kesempatan Didi juga sempat diajak oleh Kosim untuk sholat di Masjid dan berujung berontak dengan keras begitu mendengar suara adzan, Didi bahkan sampai menampar Kosim sebelum kemudian kabur entah kemana.

Pengaruh ruh jahat terhadap Didi memang menarik, bukan hanya Didi menjadi anti terhadap bentuk-bentuk pengamalan ibadah agama Islam, namun Didi juga memiliki kemampuan supranatural yang merentang dari kemampuan mematikan dengan gigitan macam vampir sampai kemampuan untuk memanipulasi alam. Dalam tiga kesempatan, Didi berhasil mengacaukan pertunjukkan-pertunjukkan tradisional rakyat di desa, yang dimana seluruh pertunjukkan itu laiknya kesenian tradisi mengandung atraksi magis. Kejadian pertama adalah pada saat perayaan khitanan Didi yang gagal, dimana saat itu Kosim mengundang kelompok debus untuk menghibur warga. Hanya dengan tatapan mata yang terfokus pada atraksi debus, maka ilmu kebal yang dipertontonkan oleh para pemain debus itu bisa tiba-tiba hilang dan mengakibatkan salah satunya terluka. Yang kedua adalah pada saat penampilan kelompok kuda lumping menjelang pemilihan lurah dimana kelompok kuda lumping tersebut menyatakan dukungannya pada pencalonan Kosim, Didi lagi-lagi memainkan tajinya seperti apa yang telah ia lakukan pada kelompok debus dan kembali membuat anggota kelompok kuda lumping harus terluka parah. Kesempatan ketiga hadir pada saat perayaan desa tidak lama setelah terpilihnya lurah yang baru, sekelompok pemain bola api menjadi korban berikutnya dari Didi. Apa yang dilakukan Didi selain untuk menghancurkan reputasi bapaknya juga mungkin adalah titisan dari dendam Alberto kepada penduduk desa yang telah membunuhnya, sehingga tampaknya menjadi penting untuk mengacau pada momen-momen warga mencari penghiburan.

Kemampuan lain yang ditunjukkan oleh Didi adalah ia mampu untuk memisahkan kepala dari badannya untuk kebutuhan menyerang targetnya. Kemampuan ini ia tunjukkan ketika menyerang dan membunuh Kasima sang dukun selepas ia, Kosim dan Sumi berbincang mengenai Didi dan sepakat untuk melakukan sesuatu karena mereka semakin curiga ada yang tidak beres dengan Didi. Kemampuan untuk melepas kepala dan menyerang dengan perilaku vampirik ini serupa dengan kemampuan orang yang telah menguasai ilmu Leak yang digambarkan dalam film Mistik (H. Tjut Djalil, 1981).

Bayi Ajaib seperti juga film lainnya di era itu penuh dengan pesan-pesan moral yang digambarkan dengan sangat terang benderang. Seperti pesan-pesan politik yang tersampaikan dan digambarkan pada saat pemilihan lurah. Dorman, Kosim dan Saleh yang bersaing pada pemilihan lurah melancarkan strategi kampanye yang berbeda. Dorman dan Kosim yang memiliki kekayaan hasil dari eksploitasi tambang di desa menggunakan strategi politik uang, menyuap para warga desa dan membagi-bagikan sembako. Sedangkan Saleh yang seperti juga tergambar dari namanya lebih banyak berkampanye dengan mengajarkan nilai-nilai kebajikan, Ia mengajak warga untuk mengutamakan gotong royong dalam membangun desa. Bahkan Saleh juga memimpin kerja bakti, ia adalah representasi dari moralitas agung di desa. Dengan model karikatural kemenangan kebajikan atas yang jahat, Saleh terpilih menjadi lurah dalam pemilihan tersebut. Pada pidato kemenangannya, Saleh mengungkapkan mengenai politik uang yang tidak sejalan dengan ajaran agama dan bahwa hasil tambang yang ada di dalam tanah desa merupakan milik negara dan tidak semestinya menjadi rebutan untuk memupuk kekayaan pribadi! Sebuah pesan sosialisme relijius.