Skip to content

The Present Entropy: Sebuah Pengantar

The Present Entropy merupakan sebuah proyek publikasi cetak dari Post Utopia, sebuah media alternatif yang mengusung isu kekinian dan budaya siber. Selayaknya tajuknya, inisiatif ini menginterpretasi ‘entropi’ dan ‘kekinian’. Entropi sendiri merupakan sebuah istilah termodinamika mengenai perpindahan dan kesetimbangan energi. Entropi, sebagai indikator seberapa luas perpindahan energi tersebut, juga menjadi tolak ukur ‘ketidakberaturan’ dan ‘kekacauan’ sebuah sistem. Semakin tinggi entropi, semakin ‘acak’ sebuah sistem. Dengan pengertian ini, lantas entropi menjadi istilah yang bisa kita aplikasikan untuk membaca isu lain, sebut saja politik dan teknologi informasi. Sedangkan ‘masa kini’ yang dimaksud adalah kekinian longgar yang memengaruhi-dipengaruhi oleh masa lalu dan masa depan; sebuah gagasan yang juga tak lepas dari pengaruh budaya global dan siber. Kombinasikan kedua interpretasi ini, maka lahirlah ‘entropi masa kini’. 

Karya yang terinisiasi pertama kali dalam jenjang Present Entropy adalah empat lagu dari K S K Musik, sebuah proyek musik elektronik dari Christopher Kelly (Jakarta/London). Empat trek tersebut — Never Reflections, Livity, The Ritual, dan Don’t Exist — menyuguhkan anda musik dub dengan kandungan afrobeat, tribalism, hingga poliritmik (polyrhythm). Chris mencerap ragam musik ini selagi mencemplungkan diri dalam skena elektronik alternatif London di 2000an. Tak hanya itu, gagasan musik ini juga terkait pada ketertarikannya pada konsep dualitas; ketika hal-hal lampau bertemu dengan masa depan, atau contoh yang lebih kekinian, ketika manusia kini sudah berbagi ruang dengan robot-robot Artificial Intelligence* yang kini sudah bisa melukis. Kegemaran Chris pada musik poliritmik juga mencerminkan situasi tak tertebak masa kini. 

Keempat trek K S K Musik kemudian menjadi judul sekaligus tersirat secara langsung-tak langsung dalam empat bab cerita pendek Reza Adhiatma (Bogor). Di kisah ini, anda mengikuti perjalanan seorang arsiparis bernama Saya Aletheia di sebuah kota berkode Koloni S#110 di tahun 2101. Ia tengah meneliti jurnal tulis tangan sesosok ahli linguistik bernama Prof. B. serta pengaruhnya di komplotan propagandis bernama Lingkar Gehenna saat Perang Besar III, 73 tahun yang lalu. Selagi Saya terus mengulik kehidupan Prof. B. melalui jurnal-jurnalnya, sekaligus mengunjungi babak-babak perang besar di masa lalu, ia menghadapi tekanan dan kejenuhan dunia modern di bawah kekuasaan korporasi farmasi dan informasi. Masa depan terasa begitu dekat dalam kisah distopia ini.

Baik K S K Musik dan kisah Saya Aletheia kemudian menjadi modal berkarya bagi keempat seniman visual di zine ini, yaitu Raihan aka Azyxk (Jakarta), Luthfi Aufar (Jakarta), Rizki Pasadana aka Monumental (Bogor), dan Nafiza aka Nafxza (Bogor). Keempat seniman masing-masing merespons keempat bab cerita, tapi juga memiliki gagasannya masing-masing tentang kesinambungan yang-lampau – kini – dan – nanti. Dengan demikian, setiapnya bisa menjadi ilustrasi pendamping, juga bisa menjadi karya visual kental akan nuansa psikedelik yang dapat berdiri sendiri. 

Sebermula, kami berencana agar zine ini bersih dari editorial terang-terangan demi menjaga nuansa misteriusnya. Sajian yang kini dalam genggaman anda mengandung nuansa itu. Namun, proses kreatif zine ini patutdibeberkan. Kesemuanya mengandung gagasan serumpun, bahkan saling memengaruhi, dengan melalui sebuah proses kerja yang sebagian besar terlaksana secara digital, terutama pertemuan-pertemuan daring. Anda bisa menikmatinya satu per satu, baik musik, cerpen, maupun visual, tapi juga dalam satu menu yang lengkap. Anda bisa mendampingi kisah Saya Aletheia, sembari mengunjungi berbagai dunia absurd dari keempat seniman, sekaligus menikmati K S K Musik yang sangat serebral yang bisa anda akses melalui QR Code di zine ini. Siapa tahu, zine ini dapat menjadi sebuah mind trip bagi anda. 

Ibrahim Soetomo

*Dikutip dari wawancara Reza Adhiatma dengan Christopher Kelly, postutopia.net, 2021.